Backpacking Hari 4 : 3 Kilometer Melindungi Porong


Ah, ini sudah masuk hari ke empat saja. Bangun-bangun masih di kereta yang panas dan jam juga masih setengah tiga pagi. Gila. Kereta masih di Mojokerto. Sejam lagi lah sampai di Surabaya.

Kereta mulai sepi perlahan. Orang-orang yang tadinya berdiri sudah tidak ada, kayaknya sudah pada turun, kalau tidak berarti sudah menemukan tempat duduk bekas orang. Ya ekonomi memang begitu, siapa cepat dia dapat, siapa cerdik dia kalahkan yang cepat. Aku cerdik? Ya bisa dibilang untung, saya berdiri di samping orang yang dua jam setelahnya turun.

Sampai Wonokromo jam tiga lewat. Mau nggak mau harus nunggu Subuh di stasiun. Kalau ingat Wonokromo aku jadi ingat keluarga Nyai Ontosoroh. Seorang pribumi yang maju dalam pikiran dan perbuatan di masa penjajahan, ya meski Cuma dalam sastra karya Pramoedya. Ontosoroh dan keluarganya hidup di kota kecil ini dulu. Kebun yang luas, produksi pertanian yang melimpah, dan anak perempuan cantik bernaman Anellis. Mantunya Minke, seorang pribumi lulusan HBS Surabaya yang gemar menulis.

Aku menanti dengan duduk. Ini pertama kalinya aku sampai Surabaya sendirian. Dulu pernah sih karyawisata ke Surabaya, bareng anak-anak SMP. Ya sudah terlupakan lah tapi. Apalagi dokumentasi memang kurang waktu itu.

Wonokromo sekarang jauh berbeda dengan Wonokromo yang ada dalam Bumi Manusia. Jelas lah, berbeda satu abad pastinya. Sambil menunggu, buka-buka akun facebook. Ya, nggak jelas, ngapain juga malam-malam orang buka facebook. Tapi mumpung masih gratis dan baterai masih ada kenapa tidak. Hasilnya setengah jam terlewati dengan begitu saja.

Speaker masjid sebelah stasiun Wonokromo sudah mengumandangkan ayat-ayat suci Al Qur’an, sebentar lagi Adzan berkumandang. Stasiun masih sepi. Aku gunakan untuk merenung dan mengantuk.

“Di stasiun ini kau sendiri. Tak ada yang kau kenal. Bisa saja kau mendapat bencana tiba-tiba. Siapa yang akan menolongmu? Siapa yang akan membantumu apabila semua orang berkonspirasi untuk menjatuhkanmu? Kau harus pegang kebenaran, kalah dalam kebenaran adalah mulia, menang oleh dusta adalah hina.”

Seorang bapak-bapak nampak sedang membuka gerbang musholla stasiun. Artinya memang Adzan tak lama lagi. Sudah jam empat juga. Akhirnya aku berpindah duduk ke teras musholla yang sempit itu. Alas kaki ku lepaskan, kusandarkan badan ke tembok. Pegal mulai pudar, pegal menggendong tas ransel. Kaki bisa selonjor dan mata bisa dipejamkan untuk sekedar relaksasi.

Agak berselang beberapa waktu Adzan dari masjid luar stasiun berkumandang. Aku beranjak ke tempat Wudhu dan selanjutnya menjalankan ritual seperti bisanya.

Setelah jam setengah lima lewat, stasiun terlihat makin rame. Nampaknya memang aktivitas sudah harus dimulai. Senin adalah hari padat. Everybody hate Monday. Komuter Surabaya mengantarkan pengais rizki-rizki Allah ke tempatnya masing-masing. Ada yang mengenakan kemeja rapih dan sepatu pantofel, ada pula lencana garuda yang tertempel manis di dada. Ada yang mengenakan kemeja seragam bertuliskan nama perusahaan, di punggung, dada saku ataupun lengan. Ada juga anak-anak muda yang berpakaian bebas rapih. Pekerja juga menurutku.

Stasiun Wonokromo menjadi hidup, menggeliat oleh cahaya matahari yang perlahan masuk di sela-sela atap stasiun. Aku? Aku masih menunggu sampai jam setengah enam dan HP Alkindi Rizky(Kindi) aktif, soalnya dialah tuan rumah untuk hari ini, dan bagaimana bisa sampai di rumah dia kalau dianya saja nggak bisa dihubungi.

Aku menyaksikan ratusan orang masuk ke kereta Komuter Surabaya dengan buru-burunya, padahal hari masih baru saja dimulai. Mereka memulai hari mereka jam berapa ya? Begitukah dunia kerja? Begitu menjemukan dan menyusahkan. Tapi begitulah pribahasa jawa, “Bangun yang pagi, biar rizkinya nggak dipatok ayam.” Butuh usaha lebih untuk mendapatkan yang lebih. Kata A Fuadi, “Usaha diatas rata-rata.” Dan juga, Allah takkan memberikan rizkinya untuk orang-orang yang hanya diam. Rizki dicari, bukan dinanti.

Jam setengah enam sudah lewat, langsung HP bergetar, Alhamdulillah Kindi sudah bisa dihubungi. Aku langsung keluar stasiun. Ya, petunjuk ke arah rumahnya sudah ada, tinggal memastikan. Sampai di perempatan bawah Flyover aku sudah ditarik oleh tukang angkot. Bukan angkot, entah apa mobil shuttle gitu. Hahaha kutanya ke Terminal Sidoarjo, jawabnya iya masuk-masuk sambil menyeret. Sial, apa-apaan.

Pas aku SMS, ternyata harusnya bukan ini angkotnya, tapi ya bedanya kalau angkot ini tidak masuk terminal, dan angkot yang didimaksud masuk terminal. Meeting point diganti. Pasar Larangan katanya, bilang ke keneknya ke Pasar Larangan. Kenek jawab iya.

Sampai pasar larangan saya bayar limaribu. Yap, nggak ada kembali ataupun minta kurang. Sesuai dengan petunjuk. Baru saja turun berapa detik, dari belakang sudah muncul sesosok celana pendek santai, Si Kindi. Gayanya sudah banyak yang hafal : Supersantai 2011.

“Kamu salah angkot Qul. Angkot kayak gitu rawan. Biasanya udah sekongkol sama sopirnya itu. Kalau kamu bayar 10ribu niscaya nggak bakal dikembalikan. “ Kata Kindi.

“Tapi Alhamdulillah aman kok Kin. Haha santai lah.”

Sesampainya di rumah Kindi, langsung disuguhi macam-macam. Terimakasih untuk keluarga Kindi yang sudah baik-baik. Usai mandi, aku justru merasa capek. Niatnya mau baca sesuatu sambil menyandar, eh malah kebawa tidur. Yap, malam tadi memang kurang tidur lah pastinya.

Jam satu aku terbangun. Wah, payah sekali ini. Jam sepuluh sampai jam satu bukannya aktivitas malah tidur. Fatal sekali, duh.. Maafkan saya.

Setelah ishoma siang, kita putuskan untuk berkeliling sidoarjo. Kindi sebagai rider, saya menumpang saja. Kindi muter-muterin aku keliling sidoarjo. Sampai terakhir di Porong. Tempatnya lumpur lapindo. Ternyata sekarang Lapindo menjadi objek wisata. Masuk ke area tanggul bendungan pun harus bayar. Sialnya kita nggak ada yang bawa duit. Aku kebetulan baru ganti celana panjang, sedangkan Kindi memang Cuma bawa seribu limaratus. Akhirnya dengan lobbying kena juga, kita bisa masuk dengan budget seribulimaratus. Padahal harusnya limaribu per motor.

Keadaan lumpur lapindo sekarang sudah berbeda dengan yang diberitakan dulu. Dulu yang kita lihat hanya lautan lumpur sekarang sudah lebih aneh. Sudah tidak ada semburan lumpur yang ganas. Cuma asap putih masih mengepul pekat. Lumpur sudah mengendap sehingga kini terlihat daratan baru di tengah. Nampaknya diinjakpun tak amblas. Air dialirkan lewat tepian tanggul, ada pipa-pipa pengalirnya ke sungai. Jalan tol yang memotong jalan sudah ambruk, tidak ada atau tidak terlihat.

Panjang tanggul aku ukur sekitar 3 kilometer. Dihitung dari titik awal motor bergerak sampai ujung. Di ujung sebelah selatan, nampak genangan air. Warnanya bukan warna lumpur, melainkan warna air danau pada umumnya. Kayaknya air hujan yang terjebak oleh tanggul. Menjadikannya seperti danau sebenarnya. Itik dan berbagai burung juga banyak yang berenang disitu.

Aku berpikir, betapa manfaatnya ini tanggul. Coba saja kalau tanggul ini tidak ada, korban akan semakin meluas. Jalur kereta api dan jalan raya ke Jawa Timur bagian selatan yang ada di sampingnya jarak beberapa meter saja pasti akan tenggelam. Ketika jalur kereta tenggelam tak ada kereta yang menghubungkan Sidoarjo dan Surabaya ke Pasuruan, Probolinggo dan daerah selatan lainnya. Apabila jalan raya juga tenggelam jadi apalah Surabaya sebagai ibukota Jatim yang tak bisa terhubung dengan kabupaten-kabupaten lain.

Mungkin akan ada ekspansi atau pemekaran provinsi. Jawatimur bagian selatan akan mendirikan Provinsi baru, Malang sebagai ibukotanya. Karena Malang dengan Jakarta masih bisa dihubungkan oleh jalur selatan.

Namun tanggungjawab harus tetap ada pada Lapindo seharusnya. Apapun alasannya. Kerugian yang ditimbulkan sangatlah luas. Eksplorasi migas ditengah pemukiman adalah kesalahan perusahaan dalam perencanaan pengeboran. Kecelakaan yang terjadi bukan faktor operasional semata oleh orang-orang reservoir, tapi perencanaan juga harus bertanggungjawab.

Sejauh mata memandang hanya tumpukan tanah berwarna putih dan ditengahnya mengepul asap putih. Baunya menyengat, itukah konsekuensi yang harus diterima oleh warga porong? Berapa orang yang mendapat lapagan pekerjaan di sana, berapa orang yang merasakan dampak celakanya?

Setelah pulang, kami menunggu kawan satu lagi. Mas Kuncoro Atmojo (Mas Kun). Dia siang ini dari Sragen. Prediksi Mas Kun sore sudah sampai di Sidoarjo, namun benar prediksi Ibunya Kindi. Surabaya kalau sore macet. Hasilnya Mas Kun sampai rumah Kindi menjelang adzan isya’.

Ketika sudah ada tiga orang ini, lengkap sudah rombongan Backpacker Lombok. Malam itu juga kami kembali mengatur jadwal, merangkai timeline dan merancang anggaran. Googling lagi info seputar Lombok dan berbagai informasi pendukung lainnya.

Sampai pada akhirnya kita semua terlelap tidur. Hari ke empat selesai.