Konkritkan Lombok : Failed Sunset!


Matahari sudah ada di arah depan kami. Jam dua lebih sepuluh kami berangkat dari warung jawa itu. Pegangan kami cukup sebuah petunjuk bahwa Kuta dan Mawun dihubungkan oleh satu jalan saja. Tinggal mengikuti jalan itu, nanti pasti sampai di Mawun.

Kami pikir kita akan menemukan jalan yang datar-darat dan kalaupun rusak ya sudah kami pikirkan sebelumnya, seperti kata pemilik warung jawa tadi. Dengan berat hati aku ceritakan jalannya naik turun curam. Benar, butuh peta kontur yang detail kalau mau lihat seberapa curamnya tempat ini. Bukan peta wisata yang tak punya dimensi ketiganya.

Ah, sudahlah. Kami lebih baik nekat saja. Ini jug motor pinjaman. Jalan naik turun berlubang dan berkelok-kelok sikat saja. Yap, buat apa kita susah-susah bayar. Haha

Dari jalan memang terlihat di atas bukit itu ada keramaian. Orang-orang yang mendirikan tenda, orang-orang penambang emas itu. Tambang rakyat, bertahan sampai berapa tahun kah kalian? Kekhawatiran yang muncul adalah mereka bakal lekas tergusur atas kebijakan pemerintah, menyerahkan lahan tambangnya supaya diurus sama perusahaan atau korporasi, yang lebih menyedihkan apabila korporasi tersebut adalah korporasi asing.

Apa jadinya kalau benar si perusahaan besar mengambil alih petambangan tersebut? Infrastrukutur pasti akan dibatasi, karena pertambangan membutuhkan kondisi lahan yang minim penduduk. Lalu kondisinya akan jadi lebih parah apabila limbahnya langsung diarahkan ke laut, atau niscaya pasti ke laut.

Ah, lupakan kekhawatiran tersebut. Mari kita lanjutkan perjalanan.

Di jalan menanjak itu aku dan Mas Kun berhenti. Si Kindi yang ada di depan kami aku suruh berhenti. Sudah agak jauh sih memang, lalu rupanya dia putuskan untuk turun kembali menghampiri kami. Pas sudah dekat, eh si Kindi malah jatuh. Aduh kami langsung semburat menghampiri, apakah terjadi apa-apa? Alhamdulillah tidak, Kindi baik-baik saja. Lalu motornya? Sehat, tapi cukup ada goresan di bagian bodi bawah Mio-nya. Urusan nanti lah yang kayak gini mah.

Lalu kenapa kami berhenti? Aku melihat sebuah pemandangan yang luar biasa keren. Sebuah teluk kecil yang lautnya berwarna hijau dan biru muda, pesona pantai lombok. Ternyata itu Kuta dari jauh. Aku pikir inilah yang ingin kami cari di sini. Kami sempat memotretnya, dan inilah foto pantai pertama kami.

Kami melanjutkan perjelanan berat kali ini. Karena tadi Kindi sudah merasakan jatuh, kali ini kami mulai berhati-hati. Jalan berlubang dan pasir ini amat sangat riskan untuk ditempuh dengan ugal-ugalan. Dengan hati-hati pun kami sempat kejeglong lubang.

Urusan di jalan selesai, kami sampai gerbang pintu pantai mawun. Sebuah papan yang terbuat dari kayu disertai arah saja. 100 m lagi. Kami sempat menikmati suasana orang-orang lokal yang mencari kayu bakar dan pohon yang berlubang. Kegiatan orang-orang yang nggak ada kerjaan kayak kami ya memang begini.

Kami masuk, tak ada pungutan seperti tiket masuk. Cuma parkir cukup bayar 2 ribu permotor. Turun dari motor aku lari. Menyambut ombak pantai mawun yang kali ini cukup besar. Sambil berteriak-teriak tak jelas. Menyumpahi orang-orang asing itu, semua unek keluar bercampor dengan suara deburan ombak mawun. Kalau disitu memang ada orang asing aku mungkin dikira orang gila. Namun tidak, di sini Cuma ada kami bertiga ditambah satu rombongan keluarga lokal serta satu bule yang sedang berjemur agak jauh dari kami.

pantai mawun, lombok

pantai mawun, lombok

Pantai Mawun
3+5+1 = 9. Ya 9 orang saja yang sedang menikmati pantai yang indah ini. 3 kami, 5 orang dari rombongan keluarga, dan 1 orang bule. Penjual juga sepi. Surga indonesia ini Cuma kami nikmati bersembilan saja cuy. Kami rasa kalian akan cemburu. Bali? Ke eropa saja sana. Lombok milik kami. Ah, maaf aku terlalu ekspresif di tulisan ini.

Aku lepas bajuku, semuanya saja, Mas Kun dan Kindi juga. Tersisa celana pendek. Ah siapa peduli, di sini kan cuma ada sembilan orang. Lalu kami memulai pertarungan bahagia melawan ombak. Laut seakan tak kehabisan energi. Menghempaskan kami ke garis pantai, lagi dan lagi. Kami coba berbagai jurus. Laut selalu punya daya yang lebih. Lagi-lagi kami terhempas. Bahkan air laut juga meracuni kami, airnya yang asin sesekali masuk mulut atau bahkan telinga. Membuat kami terdiam sesaat. Setengah jam berlalu tanpa hasil, kami tetap terhempas. Kami menyerah, namun kami tertawa tak terelakkan. Bahagia bergelut dengan ombak-ombak itu. Ombak yang begitu bersahabat.

Usai itu, kami tertantang buat keliling sepanjang garis pantai. Agak berat buatku karena aku pikir disini Cuma 9 orang dan seorang penjaga parkir. Motor sewaan kami pasti beresiko. Tapi nampaknya Kindi dan Mas Kun santai-santai saja, baiklah. Mari kita nikmati saja.

Sepanjang jalan itu, pasir yang halus itu membuat kami susah berjalan karena selalu saja mblekuk setinggi mata kaki. Aku saja yang telanjang kaki kesusahan apalagi Mas Kun dan Kindi yang sengaja mengenakan sandal gunungnya. Tapi aku yang telanjang kaki juga beresiko karena tak jarang pecahan karang yang ada di dalam pasir kerap menusuk kaki.

Sampai di ujung pecahan karang makin banyak. Sebenarnya juga kami kesini berniat untuk snorkelling, karena kami yakin di sini pasti banyak karang yang bagus. Tapi gara-gara ombak besar pasti sangat beresiko dan tidak enak. Perlengkapan snorkel yang kami bawa rasanya sia-sia.

Akhirnya kami cuma foto-foto saja, menfoto satu sama lain yang sedang duduk di atas karang yang warnanya hitam dan dihinggapi banyak kepiting. Lain itu juga berenang di seputaran lubang-lubang karang dan lain-lain. Ya sebenarnya kurang menarik, tapi karena Cuma bertiga jadi cukup asik. Seakan ini pulau cuma milik kita saja.

Karena hari sudah agak sore, kami putuskan untuk balik. Kami berniat menemukan sunset di Tanjung Aan. Ya, kata internet, di Tanjung Aan memang bagus sekali sunsetnya. Yah, perjalanan menakjubkan pertama di pantai mawun harus segera di cukupkan. Tak lupa aku mengambil dua buah cangkang kerang yang aku anggap paling unik, untuk kenang-kenangan.

Sepanjang jalan kami nikmati dengan ikhlas. Jalan naik turun, berlubang sana-sini, berdebu dan licin kami halau satu-satu. Beruntung sudah sore dan tak berterik lagi. Pemandangan yang kami lihat saat kami berangkat tadi tidak berubah. Kalau tadi jalanan sepi sekali, kali ini lebih sepi lagi. Mungkin jalan satu kilo baru ketemu orang, lalu sekilo lagi baru ketemu seorang lagi yang lain.

Bule satu yang kita temui di pantai mawun sedang berjemur sendirian tadi kita salip, dia cuma jalan kaki saja. Ah, rasanya ingin membantu, mumpung si Kindi motornya Cuma memboncengkan angin. Tapi aku urungkan lagi, bahkan tidak sempet aku utarakan ke teman-teman yang lain. Ah, sudah saja jalan, siapa urus bule itu aku tidak peduli.

Sampai lagi di Kuta sudah jam lima lebih waktu indonesia tengah. Artinya tidak sampai sejam sunset terjadi. Ah, hurry up!

Asumsi kami Tanjung Aan adalah sebuah pantai tepi sebuah tanjung yang menghadap ke arah barat. Kesana-kemari nyari-nyari tempatnya bahkan sampai nyasar ke resort milik hotel Novotel akhirnya kami sampai di Pantai Aan, bukan Tanjung Aan.

Pantai Aan itu pasirnya putih, tapi butir pasirnya kasar. Obaknya kecil jadi kami pikir kami bisa snorkelling di sini. Namun kalau kalian kira ini menghadap ke barat dan di depan ada sebuah pemandangan kuningnya langit karena senja itu salah. Ini pantai tetap menghadap ke selatan, persis seperti kuta, mawun dan pantai selatan lainnya.

Tujuan kita adalah mencari sunset. Bukan snorkeling di sore hari jelang maghrib. Walhasil kita balik lagi mencari pantai sesungguhnya yang menghadap barat, Tanjung Aan.

Sampai di jalan utama kami bertanya, dimanakah Tanjung Aan sebenarnya. Tak percaya denga penunjuk arah, akhirnya kami bertanya ke orang lokal.

“Permisi Pak, jalan ke Tanjung Aan itu sebelah mana ya?”

“Oh saya tahu mas, mau ngapain sore-sore gini mau ke Tanjung Aan?” Jawab beliau yang masih mengenakan pakaian dinas harian berupa kaos oblong dan celana ¾ belepotan lumpur.

Yang ada di dalam pikiranku adalah, kenapa orang itu jusru bertanya balik ‘mau ngapain’?

“Kita mau lihat sunset Pak,”

“Wah, di Pantai Aan sih nggak ada sunset. Paling kalau mau juga harus naik bukitnya dulu. Tapi jamnya juga sudah segini, udah selesai juga barangkali mas.”

“Wah, jadi harus naik bukit dulu ya Pak?”

“Iya, bisa saya anterin ke sana, ya barangkali belum selesai sih sunsetnya.”

“Oh nggak usah deh pak, mending saya pulang saja juga. Hehe”

Sesungghnya bukan pada masalah waktu, tapi lebih pada biaya, karena jasa pasti akan meminta balasnya. Balas jasanya adalah uang dan itu kami nggak suka mengeluarkan duit untuk jasa guide. Ah kau juga tahu kami ini siapa? Haha

“Makasih Pak.” Kata kami mengakhiri.

“Sama-sama..” Mukanya agak kecewa.

Lalu kami balik ke Pantai Aan. You know what? Kamu tahu apa yang ada dalam otak kami? Ya, mendaki bukit.

Agak mencekam, sungguh. Hari mulai gelap dan pantai sudah tidak berorang lagi. Harapan mendapatkan sebuah sunset pertama sudah pasti gagal. Bukit nan curam ada di depan mata dan kegelapan sudah mulai menyerang. Kemuning langit diatas kami sudah sirna, hanya jingga pudar dari arah barat.

Tantangan berat lain kalau kita benar-benar naik adalah motor sewaan kami tidak ada yang menjaga. Resiko adalah resiko, demi sebuah sunset maka kami rela berkorban. Yang ada dalam pikiran kami sekarang adalah bagaimana supaya kita bisa sampai atas?

Aku, nekat aku mendaki sebuah bukit dengan elevasi 75 derajat. Panjat tebing 90 derajat, inilah kenekatan. Aku usulkan ke Mas Kun dan Kindi untuk naik duluan. Barangkali kalau memang ada sunset aku kasih kabar ke bawah untuk segera naik. Mereka menyetujui.

Mereka aku tinggalkan naik, sambil mereka mencari-cari cara bagaimana caranya supaya naik tanpa securam itu. Aku lalu dengan kekuatan sepenuhnya naik merayap dengan lincah. Berpegangan pada batu dan batang rumput-rumput besar. Ah, aku heran dengan diriku, kenapa bisa secepat dan selincah ini. Ah biarkan saja, ini masih setengahnya juga. Lintasan ke atas lagia adalah tebing berumput, tidak ada batu atau batang rumput besar yang bisa dibuat pegangan.

Badan yang tadi ringan dan lincah kini makin berat menyusuri jalan vertikal 75 derajat. Langkahku semakin pelan dan tinggal lima meter lagi sampai di puncak.

Dari bawah rupanya dua temanku yang lain itu ikut naik, tidak peduli dengan meninggalkan motornya. Aku sampai di puncak dan hasilnya aku disuguhi pemandangan aneh. Matahari sudah tenggelam, dari barat cuma tampak awan-awan stratus menyelimuti langit. Cahaya matahari masih nampak dari sorot kuning yang terpantul dari bagian bawah awan.

Tak lama aku menikmati sore luar binasa ini. Benar-benar pemandangan yang hanya bisa dinikmati sendiri, tidak dengan fotografi ataupun lukisan.

Aku turun, dua temanku masih kepayahan naik. Salah mereka mengambil jalan yang agak landai sehingga jauh. Aku cukup nangkring di sebuah batu di tengah bukit. Belakangku batu, depanku pantai Aan yang mulai gelap. Indah, karena aku menikmatinya sendiri. Karena air, mereka tak menerima kegelapan. Dia tetap terang di muka.

Tanjung Aan, Lombok

Tanjung Aan, Lombok

Tanjung Aan
Aku heran dengan air, apalagi laut. Di sana tidak kutemukan gelap layaknya di tengah hutan, mereka terang tapi benderang. Malam hari sekalipun, para nelayan berani mencari nafkah di hamparan yang luas. Tak seperti di darat yag butuh penerangan.

Malam mulai masuk dalam panggung kehidupan kami. Aku yang sudah turun justru yang jadi khawatir. Dua orang itu masih di atas, apa yang terjadi denganku apabila ada sesosok makhluk jahat menghampiri. Aku coba hilangkan itu dengan sesekali memangil dua temanku yang ada di atas. Jawabannya kecil, suaranya maksudku. Angin, ya angin sore ini kencang, apalagi ada berisik pecahan ombak.

Akhirnya kami sudah di bawah semua, di samping motor kami memutuskan untuk pulang. Tak lupa kami saling memberi saran.

“Di jalan jangan banyak bicara.”

“Kalau ada yang nyetopin hiraukan saja. Kalau perlu tinggal ngebut.”

“Nggak usah terburu-buru juga, jalanan gelap, ngandelin lampu motor doang
terlalu resiko, jalanan banyak lobang.”

Ya seperti itulah, suasana yang kami hadapi lebih dari yang aku bayangkan jauh pas kita ada di Masjid dulu. Mencekam, ah sangat-sangat mencekam.

Jalan-jalan sepi dan tak berpenerangan serta tak ada tanda-tanda kehidupan ini belum pernah aku temui sebelumnya. Kanan pohon, kiri pohon depan hanya jalan yang kami raba-raba lewat headlamp Honda Revo dan Yamaha Mio. Kami juga tak sebisa mungkin untuk diam. Sesekali saja aku bilang ke Mas Kun supaya nggak usah buru-buru.

Limabelas menit kira-kira bergelut dengan situasi seperti ini. Akhirnya kita sampai di daerah Kuta. Gonggongan anjing menyambut kami, barangkali tidurnya terganggu oleh sinar lampu yang muncul dari motor-motor kami. Alhamdulillah, kanan kiri kami sudah rumah-rumah hotel dan restoran.

Aku sadar, Mas Kun juga barangkali, Kindi sudah pasti. Inilah situasi yang sebenarnya. Kabupaten Lombok Tengah yang mencekam ini telah kami rasai. Takut? Tidak. Selama hati dan pikiran kita tetap bersih semua akan baik-baik saja. Kemirisan? Tentu. Kenapa masih ada daerah mencekam seperti ini? Ya hal ini mesti terjadi, hal ini tak bisa terhindarkan. Negara kita yang tersebar berpulau-pulau membuat susah sebuah kemajuan bernama listrik bisa tersalurkan penuh. Toh, 20 tahun yang lalu kampungku juga masih seperti ini, tak ada listrik untuk rakyat jelata. Hanya khusus orang-orang kaya yang punya alat bernama aki.

Bukan salah siapa-siapa? Tidak, ini bukan kesalahan, ini kekeliruan semata. Aku bingung, makin bingung. Aku yakin ini kesalahah, namun salah siapa? Pemerintah? Orang lokal? Orang asing?

Walhasil kami sampai di homestay jam tujuh lebih malam waktu Indonesia tengah. Kami bersih-bersih badan seluruhnya. Sholat lalu kita bercanda, cuma kami bertiga. Ya, kanan kiri kami tak ada penghuninya.

Kami makan malam di warung jawa itu lagi, namun ternyata sudah habis. Lalu kami cari warung jawa lain, ada di sampingnya saja. Menu juga tinggal kari saja. Ah, tak apa. Nasi kari ini luar biasa, semangkuk kari yang berisi dua potong ayam, sebutir telur dan masing-masing dua potong tempe tahu di tambah sepiring nasi. Gila, ini gila. Ini makan terkonyol. Ini memang seporsi segitu atau ini penghabisannya? Bayar kami adalah 13 ribu tiap porsinya. Ngantuk, sampai kamar kami langsung tertidur. Sudah.