Konkritkan Lombok : BIL dan Dani Sasak


Kami lalui jalan-jalan sepanjang Lombok. Pegangan kami Cuma dua buah peta. Satu peta besar, satu peta kecil. Peta kecil ada dalam sakuku. Mas Kun dan Kindi sebagai rider dan aku sebagai Navigator yang dibonceng rider Mas Kun.

Peta kecil itu acuan kami selama perjalanan. Peta kecil itu cuma print out gambar yang kami dapat di google. Ah membantu sekali internet itu. Terimakasih bapak penemu internet, mbah Google nggak usah dikasih ucapan, mereka sudah kaya, masuk tulisan ini juga salahsatu apresiasi tentunya. Eh.. hahahaha

Rute acuan kami adalah Cakranegara menuju Praya, Praya lalu Penunjak, Sengkol dan Kuta. Harapan kami adalah tentunya jalan akan ramai. Sehingga tak semencekam yang kubayangkan sebelumnya.

Baru keluar dari Kota Cakranegara kami sudah dihadang razia polisi. Beruntung kami semua lengkap dan kebetulan justr bisa sambil tanya-tanya jalan dengan polisinya. Yang kasihan orang yang ada di depan kami, remaja hitam tampak sedang merengek pada Pak Polisi, Pak Polisi justru dengan muka tak peduli memarahi. Ah, harusnya aparat seperti ini bisa ramah dengan masyarakat.

Jalan berbelok-belok namun tak bercabang ini dengan tanpa sadar telah megantarkan kami sampai di Praya. Di plang terpampang jelas kalau belok kanan itu ke Kuta.

“Belok kanan mas, itu plangnya.”

“Belum.” Bantah Mas Kun,

“Nah itu plangnya sudah, lagian ini kan udah di Praya.” Jawabku.

Akhirnya semua belok kanan, jalanan sepi mulai kami tembus. Bertemu dengan keramaian hanya sebatas pasar tradisional. Itu pun sudah mau bubar. Nampaknya memang mereka masih pada jalan kaki ke pasarnya.

Sampai juga kita di danau rawa itu. Yap, benar kita mau ke Kuta namun kita tidak sesuai jalur. Jalur yang sebenarnya adalah kita lewat timur rawa, tapi kita kini berada di barat rawa. Ah, Mas Kun benar, jangan keburu belok harusnya tadi. Ah ini juga jalan ke Kuta. Hahaha sama saja.

Kita sampai di Penunjak. Kegalauan memilih jalur muncul kembali. Aku menyarankan untuk ikut jalan baru yang halus. Mas Kun memilih untuk terus. Apa boleh buat, aku tadi meleset, kita ikuti Mas Kun sebagai rider. Yap Mas Kun sudah baca-baca rute lewat google maps sebelumnya. Yang penting nanti harus sampai di Sengkol.

Jalanan sepi dan kurang baik kita libas. Sampai jalan mulus dan lebar kami temui. Ini bypass road. Pemandangan aneh terlihat sebuah bangunan megah muncul ditengah ilalang dan pesawahan yang menghampar luas. Sebuah menara tinggi menjulang. Sebuah sirkuit balap kah? Wow! Bandara kah? Kok tak ada suaranya.

Ini Bandara, Bandara Internasional Lombok (BIL). Sebuah landasan pacu untuk burung besi. Aku jadi teringat kata bapak kepala keamanan masjid yang kami inapi semalam.

“Bandara BIL belum beroperasi, sebentar lagi lah sekitar September. Masih menunggu selesai dibangun PLTDnya. Pasokan listrik minim di sana.”

Di depan pintu gerbangnya ramai sekali gerombolan anak-anak SD turun dari mobil bak terbuka. Jangan kau ragukan lagi, itu rombongan anak-anak SD yang sedang berkarya wisata mengunjungi infrastruktur baru di pulaunya yang harapannya akan membawa kemajuan.

BIL apabila kita bisa bayangkan, wisatawan-wisatawan asing akan semakin mudah datang kemari. Bandara Internasional akan membawa berbagai macam kemajuan. Tak lupa kemajuan tersebut juga di topang kerusakan barangkali.

Seperti Bali. Pulau dewata itu kian hari kian padat oleh asing. Masyarakat lokal yang tak peduli akan busana membiarkan saja orang-orang asing itu cukup berbikini di sepanjang jalan Kuta, Tabanan, dan lain-lain. Beruntung masyarakat lokalnya peduli lingkungan dan menjaga kelestarian. Hanya budaya, pengotoran budaya. Cap dari film ‘Eat Pray Love’, bahwa Bali adalah tempat Love ditemukan. Indonesia yang ketimuran menjadi salahsatu tempat pesta topless.

Kembali ke BIL, ya semoga dengan adanya Bandara itu di sana kian membawa Nusa Tenggara menjadi tujuan orang berwisata, memberi kehidupan mapan warga lokal, dengan jualan-jualannya. Walau dalam hati ini, agak sayang kalau wisatawan asing justru banyak yang berkunjung kesini. Orang Indonesianya mana nih?

Dari depan terpampang tulisan “Selamat Jalan” besar sekali. Eh? Wajar, kita kalau datang ke bandara ini pasti mau pergi. Ah bodoh atau ndesonya aku. Hahaha

Selamat jalan BIL, kita mau ke Kuta. Mau ikut? Ah, tidak kami mau mampir ke Sade dulu. Tempat orang lokal Lombok asli. Masih jauh nggak ya? Jalannya bypass mulus itu lalu ada plang kanan atau kiri. Kanan ke Kuta, kiri bertuliskan wisata desa.

Aku dan Mas Kun berdebat dulu, kita mau ke Sade dulu atau langsung ke Kuta? Eh? Bukannya satu jalan ya? Kenapa bercabang ini? Mas Kun ngotot ke kiri, ke wisata desa. Aku ngotot kanan, ke Kuta. Masalahnya ini kita sudah di Sengkol. Sade itu antara Sengkol dan Kuta. Kalau kiri, kita sama saja balik. Oke akhirnya kit ke kanan. Tak jauh dari situ ada orang-orang tampak sibuk melakukan instalasi distribusi listrik di tiang-tiang pinggir jalan. Kita tentukan arah kesitu. Aku turun dan langsung bertanya ke segerombol orang itu.

“Pak permisi, kalau mau ke Kuta jalannya ke sini kan?” Tanyaku

“Iya ini jalannya bener.”

“Itu nanti lewat desa Sade nggak pak?”

“Iya nanti terus saja ini. Sudah deket kok.”

“Oh terimakasih pak.”

Benar, mari kita lanjutkan perjalanan. Jalan lurus berbukit-bukit nan sepi kami jumpai. Hutan gersang khas afrika lebih mirip ini dibanding hutan tropis asia seperti di Jawa Barat. Kita memang sudah masuk daerah Lombok Selatan. Dimana kekhawatiran keamanan menjadi problem utama orang yang hendak berlibur kesini.

Di jalan yang lurus nan sepi itu sudah nampak rerumahan berwarna hitam coklat gelap. Indah nian kalau dari sini, tidak ada beton-beton baik jadi tembok maupun pilarnya. Yeah! This is Sade Village. Saatnya berwisata budaya. Kami parkir motor kami di tempat parkir yang telah disediakan. Jam masih sebelas waktu setempat.

Di gerbang sudah menanti laki-laki bersarung. Pemandu Wisata? Oh tidak, kami menghindari ini. Kami lewat jalan lain yang sepi.

Rumah berpilar kayu dan berdinding anyaman bambu tipis diatapi anyaman jerami tebal. Nuansa tradisional begitu kentara. Kami agaknya kagok juga kalau tak ada guide. Akhirnya setelah kebingungan kami putuskan untuk cari guide cilik saja.

Kebetulan saja ada anak kecil lewat depan kami, Mas Kun langsung mnyetop dia.

“Dik, kenalkan saya Kuncoro. Bisa anterin kami keliling ga? Nanti aku kasih duit.”

“Oh, ayo Kak.” Mukanya mulai berbinar-binar senang.

“Nama adik siapa?”

“Panggil saya Dani Kak.”

“Oke Dani, kita jalan kesitu dulu aja.”

Dani, anak asli sasak ini mengantarkan kami keliling kampung sasak yang kecil itu. Dia bercerita macem-macem, tentang tipe rumah yang ada di sini, tentang aktivitas menenun warga sekitar, sampai bagaimana ini rumah bisa jadi seperti itu.

Yang paling unik adalah Bale(Bacanya Bali) Kondo. Bale Kondo itu rumah dengan tinggi cuma satu meter dan besarnya kamar paling cuma 2×3 meter. Taukah itu buat apa? Haha itu buat pengantin baru kawan, kata Dani begini, “biasanya itu buat orang yang baru menikah Kak.” Ah, saya pikir orang sasak peduli sekali terhadap adat pernikahan, bahkan buat pegantin baru saja masih ada rumah khusus. Kalau sudah begitu pikiran sudah kemana-mana. Buat bikin anak kah? Hahaha kami tertawa bersama.

Ada pula yang rumah biasa. Kita diantar ke dalam rumahnya. Namanya Bale Tani, dalamnya ada dua kepala kerbau yang digantung. Ruangtamu mirip undak-undak. Terbuat dari tanah yang mengkilap. Eh bentar kita klarifikasi dulu sesuai perkataan Dani,

“Kak tau nggak ini bikinnya pake apa?” bertanya kepada kami soal teras dalam rumah itu.

“Tanah liat?”

“Salah kak, ini dari kotoran kerbau. Hahaha ” Ditutup dengan tawa yang lucu anak umur sembilanan tahun itu.

foto oleh : Mas Kun
Dia juga mengajak kami ke tukang tenun asli sini, bertanya-tanyalah kami, tapi langsung ke ibu-ibunya.

“Ini warnanya pakai apa Bu?”

“Oh ini pake pewarna alami semua nak.” Entah apa yang dia paparkan selanjutnya, lupa karena istilahnya asing di telingaku. Yang jelas katanya memang bukan pakai pewarna tekstil atau pewarna makanan. Looh? Aku tanya soal ini karena aku lihat ada benang-benang yang bergelantungan di sampingnya. Wana-warni mijikuhibiniu hitam putih. Muncul pertanyaan baru,

“Ini berapa lama bu bikin satu kain tenun?”

“Wah, lama mas, bisa sampai seminggu. Itu Cuma nenunnya saja.”

Wah lama juga ya? Kalau kayak gini satu kain jadi berapa harganya ya? Satu kain saja dikerjakan semingguan. Ah Tanya lagi,

“Kalau kain ini harganya berapa Bu?”

“Delapan puluh ribu. Bisa ditawar.”

Hehh?? Delapan puluh ribu dan bisa ditawar? Karena aku cuma penasaran jadi tawar-menawar pun enggan rasanya. Coba bayangkan, untuk sebuah tenun yang dia buat dengan segala jerih payah ketelitian dan ketelatenan cuma minta dibayar 80ribu dan itu bisa ditawar. Belum bahan benangnya juga dia beli, lalu sehari dapat berapa ya dia? Sepuluh ribu? Ah kurang lah pastinya. Paling lima ribu per hari, itupun kalau laku.

Mereka orang budaya, mereka orang yang turut mengambil andil besar dalam mempertahankan kebudayaan asli, mereka yang tak berharap banyak duit masuk kantong. Mereka yang tak mau keluar dari kampung Sade ini. Kampung yang membesarkan mereka dalam koridor lokalitas dan originalitas. Orang yang tak terpengaruh oleh kondisi perpolitikan negeri ini.

Sade bukan kampung tertinggal, bukan pula penuh dengan kemajuan. Sade hanya kampung orang-orang Indonesia yang dikelola untuk kepentingan pariwisata. Kemajuan tak boleh masuk, entah dalam bentuk listrik, produk elektronik berbaterai, atau internet. Sade hanyalah kampung mungil ditengah hamparan hutan gersang yang dilalui jalan besar ke Kuta atau ke BIL.

Atau kami ditipu oleh rekayasa? Bahwa sesungguhnya Sade cuma kampung yang ditinggali siang saja. Bahwa penghuninya dibayar perbulan untuk berpenampilan dekil atau jadul khas Sasak, lalu sore menjelang mereka kembali menjadi orang-orang biasa yang penuh dengan teknologi. Blackberry, Internet, Komputer, uang dan politik? Ah naïf sekali, kenapa begitu curiga aku ini. Sudah pasti tak ada rekayasa. Aku yakin ini nyata. Bahwa mereka orang-orang klasik Indonesia yang entah belum tahu dunia sudah semaju ini atau memang mereka berlindung dari segala kemajuan itu. Aku sadar, kemajuan tidak selamanya baik. Aku sadar, mereka memilih ini karena mereka cinta budaya mereka.

Sebagai subyek yang diluar cerita, penilaianku adalah bahwa mereka harus lestari, mereka harus ikut makmur. Karena jika mereka kian sengsara, eksodus besar-besaran akan terjadi. Minggat dari Sade, mencari kemajuan yang ada pada kita, memberontak pada kemajuan, lalu mereka mengadukan dirinya pada kemajuan, menjadi pesuruh-pesuruh, menjadi abdi-abdi dari bendoro-bendoro kaya, lalu menggeliat menjadi orang kaya, menjadikannya lupa bahwa mereka punya budaya. Lalu Sade sepi dan musnah. Sasak yang harus dijaga. Kunjungilah mereka kawan, jangan cuma berwisata teknologi. Jangan cuma berwisata mall-mall yang menjulang tinggi, jangan cuma berwisata kuliner mengenyangkan perut, jangan cuma berwisata busana di Bandung.

Sebelum kami berpisah dengan Dani, tak lupa kami kasih janji kami. 10ribu cukup buat Dani. Maklum kami juga bukan turis kaya raya, ahaha. Penghujung percakapan kami adalam motivasi.

“Dan, kami sekolah kak?”

“Sekolah Kak,”

“Dimana sekolahnya?”

“Di kampung sebrang sana.”

“Jauh ya?”

“Jauh sekali Kak.”

“Ya sudah, kamu yang rajin belajar ya. Dunia butuh ditaklukan, biar kamu tahu dunia ini kamu harus berkelana.”

“Baik kak. Terimakasih kak.”

“Terimakasih juga ya Dani.”

Dia tersenyum manis, anak sembilanan tahun itu. Baru kutoleh ke belakang, dia sudah tak ada. Larinya kencang barangkali, masuk ke ang-gang kecil kampung Sade yang lebat. Terimakasih Dani.

Kami kembali ke parkiran dan kami melanjutkan semua perjalanan. Bahagia? Aku sangat bahagia, akhirnya kami sampai di tempat pertama tujuan. Semuanya kembali ada dalam canda tawa. Menertawakan macam Bale Kondo, yang apabila kita tambahi M di ujungnya menjadi Bale Kondom. Ah ini anak-anak.. hahaha 