Dikalahkan Yudi dan Pasar Ciroyom (Versi lain dari yang sebelumnya)

Angkot berhenti di sebuah terminal paling sepi bernama Ciroyom. Ya, sebenarnya pasar Ciroyom. Kaki-kakiku seakan aneh menginjak tanah berwarna kehitaman itu, becek dan bau langsung menyerang. Jam setengah duabelas siang, panas terik tak terkira. Lalat bangkai mendengung dan mengganggu pemandangan sekali.

Masih jauhkah rupanya rumah belajar yang akan kami survey itu? Tanyaku kepada Arman, dia yang pernah kesini sebelumnya. Jawaban darinya singkat saja, disitu naik sedikit. Dia menunjuk ke arah depan, yang dia maksud adalah pasar Ciroyom itu sendiri.

Bau tak henti menyerang, tepatnya bau ikan-ikan busuk. Kami lantas memasuki area pasar itu, naik ke lantai satu yang terbuat dari kayu. Aku terkaget ketika kami masuk dan itulah tempat yang dimaksudkan Arman. Ah, inikah rumah belajarnya? Aku bertanya-tanya dalam hati.

Kami disambut oleh tiga orang muda sekitar kepala dua. Seorang bertubuh tambun, memakai kacamata, berkaos oblong, dan jeans hitam. Satunya lagi seorang berperawakan kecil, tinggi dan agak botak dan memakai celana pendek. Terakhir adalah yang paling menarik, dia seorang kribo, telanjang dada, bercelana boxer, dan memegang gitar. Ah, hangat sekali mereka menyambut kami. Aku masih bertanya-tanya dalam hati, inikah rumah belajar yang Arman maksud?

Lantainya beralaskan terpal warna oranye, temboknya berwarna biru dan hitam layaknya gaya modifikasi dub city, cuma temboknya sudah melepuh-lepuh. Apabila ditekan sedikit bukannya malah sembuh malah pecah. Atapnya seng coklat karat yang sudah kelihatan lubang-lubang kecil ditembus cahaya matahari siang. Panas sekali dan bau. Atapnya disangga oleh pilar-pilar kayu albasia yang serba bengkok. Aku baru bisa menjustifikasi kalau inilah rumah belajar yang dimaksudkan oleh Arman karena didepanku berdiri whiteboard yang disandarkan ke tembok, disangga kursi supaya lebih tinggi.

Kami berenam diwakli Arman memulai pembicaraan dengan ketiga orang tadi. Mereka adalah salah bertiga dari beberapa pengurus rumah belajar ini. Kami ngobrol banyak tentang rumah belajar ciroyom ini. Mereka ceritakan keadaan yang sebenarnya di rumah belajar ini, mereka cerita tentang anak-anak jalanan di sekitar Pasar Ciroyom ini, tentang siapa anak-anak ini sebenarnya. Ah, iya aku belum juga mengerti kenapa ada rumah belajar di pasar seperti ini. Si Arman pasti tahu, dia sudah du kali kesini sebelumnya.

Dari belakang muncul seorang anak kecil kurus, hitam, kumal, dan memakai sarung dekil memanggil-manggil salahsatu dari ketiga pemuda pengurus itu. Si Kribo menyahut,

“ Woy darimana saja kau? Ini ada kakak-kakak kau datang, coba lantas kau kenalan sama mereka.” Dari logatnya kutahu dia bukan orang Sunda atau Jawa, kalau tidak Batak ya Minang. Masih bingung aku dengan perbedaan keduanya untuk kata-kata dasar seperti itu. Ah, buat apa juga bicara suku dalam tempat akrab seperti ini.

Si kecil itu menghampiri kami berenam, menyalami kami sambil menyebutkan namanya. Yudi namanya. Suaranya agak serak, tapi masih ceria, masih seperti anak-anak pada umumnya. Salahsatu tangannya tak mau keluar dari sarung kumal itu, ada yang dia sembunyikan dari tangannya. Ah, mungkin dia cacat, aku mafhum jikalau dia cacat, kebanyakan anak jalanan cacat. Dialah anak pertama murid rumah belajar ini yang aku temui, kini semakin menambah rasa prihatin kami dan yakin untuk semangat melaksanakn baksos ini.

Seperempat jam kami ngalor-ngidul diskusi dengan mereka bertiga. Si Yudi masih bermain dibelakang rumah ini, memanjat tiang kayu, dan turun ketika kakak kribo ini mengingatkan untuk jangan naik. Kusempatkan bertanya kenapa disini tempat rumah belajar didirikan. Jawab kakak yang tambun itu begini,

“Sebenarnya inipun tempat baru, ini itu sebenarnya bekas sekretariat paguyuban Pasar Ciroyom. Paguyuban pedagang ini sudah lama tidak dipakai. Diantara kami ada yang inisiatif untuk memakai tempat ini sebagai tempat pengganti rumah belajar yang dulu. Lumayan di sini agak luas dan bagus.”

Apa? Tempat seperti inipun dibilang bagus? Aku terkaget dengan jawaban kakak itu, aku penasaran dengan rumah belajar yang sebelumnya. Seperti apakah wujudnya? Aku simpan penasaran itu untuk aku tanyakan saja pada Arman, aku berharap sebelum kami pulang aku mau minta tunjukkan tempat yang dimaksudkan kakak tadi tentang rumah belajar yang dulu. Untuk belajar saja hanya disediakan tempat 3x3m dan itu sudah dibilanglumayan luas. Sedangkan di kampus ITB sendiri ada ruang-ruang luas yang dipakai hanya setiap senin sampai jum’at dan tidak setiap jam pula dipakai. Ah, ketidakadilan kenapa selalu dirasakan dari materi?

Adzan dzuhur berkumandang, kami masih berdiskusi tentang rumah belajar ini. Kali ini kami sudah membicarakan tentang apa saja yang mereka butuhkan dan kira-kira apa saja yang bisa kami upayakan. Dari bawah terdengar suara teriakkan panjang seorang remaja memanggil kakak betiga didepan kami. Kribo dan Si Kurus minta izin untuk kebawah, ada air katanya. Si tambun tak mungkin naik turun tangga buat mengangkut  air. Si tambunlah yang menemani kami beberapa saat, dan kutahu ternyata kebanyakan mereka masih mahasiswa juga. Mahasiswa spesial dengan ideologi spesial tentunya.

Sejenak terdengar ketawa-ketawa diantara mereka melihat tingkah si Yudi yang seolah-olah orang tua penuh kebijaksanaan memerintahkan sang kakak buat semangat mengangkat airnya ke atas, tidak ada kesedihan disini yang kurasakan, hanya keakraban antara anak kecil denga orang dewasa. Si kakak yang tambun itu menyebut Yudi aslinya umurnya sudah limapuluh tahun. Dan benar, memang tingkahnya kayak orang tua yang suka menasihati, membenarkan, menyuruh orang berperilaku benar. Ah, tapi soal umur  itu hanya bercanda.

Jam menunjukkan pukul 12.30, aku berinisiatif untuk sholat dzuhur. Teman-teman semua menyetujui. Sekalian saja aku ajak Yudi untuk ikut. Namun apa jawab Yudi yang lucu tadi? Aku tak punya sarung, sarungku sudah kotor. Aku nggak ikut. Padahal aku berharap sisi dewasanya keluar pas aku ajak sholat, kuharapkan dia jawab ‘Ayo kak’ dengan penuh semangat. Namun kakak yang kurus bilang,

“Ya diganti sarungnya atuh Di. Itu di lemari ada sarung. Sekalianlah kamu antar kakak-kakak ini ke musholla.” Sambil dia buka lemari yang dia maksud dan menarik selembar sarung yang lusuh, namun lebih baik darpada yang dipakai Yudi sebelumnya.

Astaghfirullah, aku terkaget ketika sarung yang Yudi pakai dibuka. Baru kuketahui apa yang sejak tadi disembunyikan Yudi. Bukanlah luka, cacat, atau mainan sekalipun. Yang dia sembunyikan adalah lem. Pantas saja anak itu daritadi selalu mendekatkan tangannya kearah hidungnya.

Masih kutahan rasa mirisku dan masih kupendam rasa ingintahuku terhadap apa yang sebenarnya terjadi dengan anak itu, dan mungkin teman-teman sepermainannya di pasar. Sudah, kuputuskan untuk berdiam saja dahulu tentang anak-anak yang ngelem itu. Aku songsong ke masjid di pasar seberang rumah belajar, masih diarea pasar juga.

Pasar Ciroyom ini seharusnya adalah salahsatu pasar tradisional yang besar bandung, pasar rakyat-rakyat kecil mendapat nafkah, tempat jual beli yang memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan orang-orang kecil, tempat yang lebih akrab dengan aneka tawar menawarnya. Dan sejarah mengatakan ini adalah pasar yang gagal, kondisi sebenarnya pun lebih parah ketimbang pasar balubur yang hanya secuil tanah untuk jual-beli orang-orang pinggiran macam Taman Hewan. Ah, mengapa lagi-lagi begini tidaka adil dari segi materi di mataku.

Yudi mengajak kami berenam ke lantai paling atas pasar ini. Terbentang sangat luas parkiran mobil dan motor, namun sepi tiada orang. Yudi menunjukkan tempat wudhunya dan masjid dari pasar Ciroyom ini. Ah, Alhamdulillah masih ada masjid yang besar diatas pasar ini. Namun kami semua dikecewakan karena ternyata kran tidak menyala, pintu masjidpun terkunci. Apalagi potret yang akan Kau tunjukkan padaku kenyataan-kenyataan yang sebenarnya tentang bangsa ini?

Kami terpaksa turun lagi kebawah mencari tempat sholat. Dan ada tempat sholat kecil disamping kamar mandi. Berdinding kayu berhimpit dengan tembok dibawah tangga. Bercampur dengan bau-bau ikan, daging, dan sayur yang busuk. Lalu muncul lagi pertanyaan dalam benakku, beginikah ibadah para pedagang yang masih bertahan di pasar ini? Kapan mereka khusyuk sholat ketika aroma sekeliling mereka adalah bau-bau busuk daging dan ikan-ikan dagangan mereka? Astaghfirullah. Air kamar mandi sudah tidak kayak air PDAM, airnya bagaikan air laut yang agak pekat.

Ah, lucunya itu anak kalau sedang sholat. Semangat sekali dia untuk beribadah, entah karena ada kami atau karena dia merasa harus menjadi orang yang lebih dewasa dalam kekanak-kanakannya. Dia harus mampu bertahan hidup sendiri tanpa ada orangtua. Kami berenam sedang di kamar mandi, Yudi telah duluan mengambil air wudhu, walaupun wudhu tak mampu menghapuskan kotoran-kotoran diwajahnya yang kata kakak-kakaknya belum mandi tiga atau enam hari nggak mandi.

Sambil menunggu teman yang lain aku dibelakang memperhatikan sholat Yudi, sholatnya tidak karuan, ah berapa rokaat saja aku bingung, kacau. Setelah selesai dia sholat si Rendi bertanya pada Yudi,

“Ee Yudi teh tadi sholat berapa rokaat?”

“Tiga kak.”Jawab Yudi polos.

“Kok tiga, Yudi tau ini sholat apa?” Tanya lagi Rendi.

“Eh.. Eh.. Lohor kak.”

“Nah itu tau sholat lohor, emang sholat lohor berapa rokaat?”

“Tiga..”

“Kata siapa?”

“Ngga tau..”

“Nah lho, Yudi, sholat lohor mah opat rokaat atuh. Yudi sholat jama’ah lagi sama aa’ ya. Ntar biar tahu.”

“Oh, iya kak..” Tanpa ngeyel lagi Yudi nurut.

Selanjutnya aku suruh dia Iqomah,

“Ayo yang Iqomah Yudi coba.” Kataku

“Yaudah.”

Dia agak maju, kemudian mulai dia Iqomah, namun kacau sekali kumandang iqomahnya. Banyak bagian hilang dan bagian diulang-ulang, tajwid tidak pas.

Selesai kami sholat, Yudi mengajak kami jalan-jalan. Dia mengajak kami berkeliling di lantai atas, di tempat parkir terbuka. Inilah Pasar Ciroyom, dari atas bangunan ini tampak gemerlap kota mode terbesar di Indonesia, Paris van Java. Bagiku itu lumayan menarik bisa melihat pemandangan kota Bandung. Bagi Yudi ini mungkin satu-satunya hiburan baginya. Tak ada tempat karaoke untuk seorang Yudi, tak ada kolam renang untuk Yudi, tak ada mall buat Yudi, Tak ada timezone buat Yudi, tak ada, tak ada barang mewah buat Yudi, buat Yudi adalah jalan dan pasar-pasar yang selalu mengajak tertawa, kawan-kawan pasar yang sama-sama using yang mampu menghilangkan duka.

Setelah kami selesai bermain-main dilantai atas, dibawanya kami ke lantai bawahnya, kami turun ke sebuah tempat kosong yang luas. Yudi bercerita seperti biasa dengan gaya orang tua. Dia bilang tempat ini dulu adalah bekas pasar baju, tapi beberapa tahun yang lalu terjadi kebakaran hebat yang menghanguskan semua dagangan mereka yang berdagang di sini. Sempat Yudi mengungkapkan keprihatinan dan kasihannya kepada para pedagang,

“Kasihan itu pedagangnya mah. Semua dagangan habis kebakar, nah itu tuh dulu yang bikin kebakar. Itu boks merah itu.” Sambil menunjuk sebuah kotak merah didinding bertuliskan ‘hydrant’.

Ah, ini anak memang pandai mendongeng. Apa pula yang bikin kebakaran adalah justru alat buat menjinakkan api. Aku hargai ceritanya, karena mungkin juga ada seseorang yang mencoba megalihkan perhatian anak-anak akan cerita sebenarnya di balik tidak berfungsinya pasar ini dengan cerita-cerita palsu. Lalu aku tanyakan kepada Yudi, kapankah kebakaran itu terjadi sebenarnya? Dia jawab ‘dulu’, dulu sekali. Kutanyakan lagi, apakah Yudi mengalami kebakaran itu? Dia tidak menjawab.

Ah, ada-ada saja Yudi. Anak sekecil dan sedekil itu tidak tahu apa yang dia ceritakan. Anak sekecil itu bisa menjaga wibawanya sebagai tuan rumah yang meiliki bermacam-macam cerita yang akan diceritakan oleh tamu-tamunya meski dia sendiri tidak tahu itu cerita bohong atau benar. Setahuku sendiri, pasar ini sepi bukan karena insiden kebakaran atau musibah lain, ini melainkan karena ketidakberesan dalam tubuh kontraktor pembuat pasar. Pemborong itu katanya kolaps perusahaannya. Terus para pedagang kaki lima tak mau direlokasi ke pasar itu sendiri. Dan kini tinggallah pasar sepi. Pasar hanya dijadikan tempat main bola buat anak-anak jalanan. Kapankah ini keadilan didapat? Ah, lagi-lagi keadilan harus berhadapan dengan penilaian materi.

Kami semua keluar pasar. Kami semua hanya ingin jalan-jalan sejenak keliling pasar ciroyom. Pasar yang tak jelas sama sekali arah manfaatnya itu. Sekeliling pasar ciroyom itu bau ikan busuk, bau bakaran bulu-bulu ayam, bau lumpur menggenang, bau sayuran busuk. Masih ada orang-orang berjualan makanan, masih ada mamang penjual bakso, masih ada ibu-ibu penjaja gorengan, masih ada ibu yang tidur menunggui pelanggan yang mau membeli nasi ramesnya, ada juga rumah makan masakan padang di ruko pasar yang sepi dan bau itu. Ah, tak tau juga aku sebenarnya bagaimana keadaan yang sebenarnya. Aku sendiri baru delapan bulan tinggal di Bandung. Baru lulus satu semester aku kuliah. Ini tempat memang beda sekali dengan Purworejo, kota kelahiran dan aku tumbuh selama tujuhbelas tahun, dalam segala hal.

Tiba-tiba seorang sopir angkot memanggil nama Yudi. Kami semua menoleh kebelakang. Kebetulan Yudi agak belakangan jalannya bersama Rendi dan Dayat. Aku dan Ridho lumayan di depan. Dayat dan Rendi mengkuti langkah Yudi mendekati sopir angkot yang memanggil tadi. Sopir angkot tadi tampak berbincang-bincang dengan Yudi, disusul Rendi ikut menyela pembicaraan. Tampak ada kekagetan di wajah Rendi dan Dayat. Lumayan lama mereka bertiga menghampiri sopir angkot tak jelas itu.

Sekejap mereka bertiga datang. Yudi berjalan dengan semangat menyusulku, dan Dayat dan Rendi tampak enggan beranjak melangkah, ada seraut wajah heran dimuka mereka. Wajah keheranan mereka itu akhirnya dibawa jalan juga meski pelan-pelan. Aku penasaran dan menunggu mereka berdua menyusulku. Yudi dan Ridho sudah di depan berjalan agak jauh.

Aku minta Rendi untuk menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi. Rendi Cuma bilang orang yang tadi itu Bapaknya Yudi. Bapak kandung? Tanyaku lagi. Jawabnya iya. Aku tanyakan lagi apa yang tadi kalian obrolkan, si Rendi Cuma menatap kedepan. Hanya bilang, “Itu mereka udah di depan, buruan! Ntar saja ceritanya.” Aku semakin memendam berbagai pertanyaan, apalagi tentang ayah kandung Yudi. Kenapa Yudi di sini? Kenapa Yudi ngelem? Kenapa Yudi tidak sekolah? Kenapa Yudi kumal tak terurus padahal ayahnya seorang sopir angkot.

Benar saja, apa yang sesunggunya tadi mereka bicarakan adalah bukan hal yang biasa. Ini tentang keluarga Yudi. Rendi dengan wajah agak sendu bicara pada kami seusai berkeliling. Cerita Rendi akan aku dialogkan khusus dibawah ini.

“Yudi, kamu nggak pernah pulang lagi sekarang. Kemana saja kamu?” Tanya bapaknya dari dalam kursi sopir angkotnya.

“Ah, kenapa mesti pulang Pak?” Jawab Yudi.

“Ya pulanglah, pulang ke Lembang sana.”

“Emm, maaf Pak. Kalo boleh kami tahu Bapak ini siapanya Yudi?” Sela Rendi diantara pembicarannya.

“Saya bapak kandungnya Yudi.”

“Ibu sudah mati ya Pak?” Tanya Yudi tiba-tiba saja. Rendi dan Dayat terkaget.

Selanjutnya cerita Rendi terhenti. Dan aku terkaget sekali mendengar cerita apa yang dikatakan oleh Yudi tadi kepada ayahnya. Rendi tak melanjutkan cerita apa jawaban Bapak Yudi mendengar jawaban Yudi. Pastilah itu sesuatu yang menyedihkan. Selanjutnua Rendi hanya bercerita tentang siapa bapaknya Yudi sebenarnya. Dia hanya seorang sopir angkot jalur sepi penumpang, kakinya cacat karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu, rumah mereka di Lembang, Yudi kabur dari rumah, Yudi tak mau pulang ke rumah, tiada usaha lebih dari pihak  keluarga untukmencari atau memaksa Yudi pulang. Karena keterbatasan, karena kemiskinan, karena keterbelakangan pendidikan.

Selepas itu, kami berjalan sepanjang pinggir pasar Ciroyom hampa. Tak ada lagi keinginan untuk kami saling menertawakan tingkah-tingkah anak kecil macam Yudi, tidak ada nafsu untuk menyimak celotehan sok tahu Yudi. Yudi berlari-lari bersama teman-temannya yang secara tak sengaja dan biasa ketemu di jalan. Kami semua hanya tinggal manusia yang merasa beruntung diberi lebih oleh Alloh, tidak ada hal yang patut untuk kami keluhkan, tiada hal yang patut kami kufurkan, tiada pemberian yang patut untuk tidak disyukuri, meski pemberian itu jauh dari harapan dan keinginan kami. Kami panjatkan Syukur yang seagung-agungnya padaMu. Eangkau yang Mahamemiliki segala, Engkau yang Mahapemurah.

Kami pulang, kami kalah, kami terkejut dengan keadaan yang sebenarnya. Kami mahasiswa baru lihat sekarang, kami mahasiswa baru merasa agungnya lagu “Kampusku” untuk diresapi, bukan hanya lagu yang mengharukan ketika kami pertama disambut oleh kampus ganesha.

……….

Namun kini apa yang terjadi,

Di tindas semena-mena,

Berjuta rakyat menanti dirimu,

Mereka lapar dan bau keringat,

Kusampaikan salam-salam perjuangan,

Kami semua cinta-cinta Indonesia.

Kaumku mahasiswa,

Dimana kini kau berada,

Belenggu di sisi kirimu,

Penjara di sisi kananmu.

……….

Di tengah gemerlap ilmu-imu pengetahuan, di tengah wewangian parfum-parfum berkelas ala calon cendekia-cendekia bangsa, di antara hiruk-pikuk sibuk kampus calon-calon pengubah bangsa, boulevard yang menjadi macam bentuk kagiatan anak-anak kampus, selasar-selasar ruang kuliah yang tak pernah sepi oleh rapat-rapat suatu kegiatan, GSG yang selalu ramai akan orang-orang berfestival, atau kejuaraan olah raga kampus, kampus center yang pasti ramai, dan lab-lab jurusan-jurusan yang berisi ide-ide kreatif dan sarana penunjangnya. Ternyata di sana ada rumah belajar, di Pasar Ciroyom.

Dan taukah kalian, ilmu-ilmu yang mereka pelajari hanyalah ilmu baca tulis, hiruk pikuk belajar mereka hanya ketika mereka telah selesai mengamen ataupun menjadi kuli angkut di pasar. Parfum mereka adalah baju dan badan yang tak pernah tersentuh sabun baik saat dicuci atau mandi. Kegiatan-kegiatan mereka adalah di pasar dengan bau-bau ikan busuk yang sangat memuakkan, mereka pakai lem barang kali hanya untuk sekedar menghilangkan bau ikan busuk dari hidung mereka. Lab-lab mereka adalah pasar lagi, mereka kembangkan cara mereka bertahan hidup dari sana. Rubel kecil hanya sebagai tempat sebentar untuk menimba ilmu dari kakak-kakak yang luar biasa itu.

Pasti kalianpun akan setuju denganku bahwa ini tidak adil. Mana Undang-Undang bahwa orang miskin dan anak terlantar dipelihara Negara? Bahwa di sana anak-anak jalanan itu selalu dikejar-kejar satpam karena ketahuan ngelem di lantai atas pasar. Siapa tahu? Maka apakah kita akan seperti mereka? Menghasilkan sumber daya manusia yang akan sama seperti mereka? Itulah jawabannya. Kita sendiri yang akan membuatnya adil, bahwa kita sendiri yang tidak akan membiarkan diri sendiri menjadi orang yang sama kualitasnya dengan mereka. Kita akan menjadi orang yang terlibat dalam perubahan bangsa ini, buktikan bahwa kita telah diberi lebih oleh Allah lewat pemerintah yang memakmurkan kita dengan ilmu-ilmu tingkat tinggi ini, waktu lapang yang Allah berikan lewat orangtua kita sehingga kita tak perlu harus ngamen dahulu sebelum kita menuntut ilmu. Segala rahmat Allah darimanapun jalannya. Kita harus buat adil ini semua.

Suatu hari, dikamar kos yang sepi, sambil makan roti.. Ah, yang roti itu hanya bohong..

2 thoughts on “Dikalahkan Yudi dan Pasar Ciroyom (Versi lain dari yang sebelumnya)

  1. hahaha
    hehehe
    hohoho
    huhuhu :p

Tinggalkan komentar