Kereta Lebaran


Yah, bahagia sekali perasaanku. Jum’at adalah hari terakhir kita kuliah. Tanggal 3 september ditutup oleh pengenalan praktikum. Tanggal 4 sampai tanggal 19 adalah libur lebaran. Beberapa hari yang lalu telah terencana apik bahwa akan naik kereta ekonomi, libur lebaran kali ini. Suatu yang belum pernah kulakukan saat musim libur panjang kunaik kereta seharga duapuluhribu rupiah sampai Kutoarjo itu. Bersama seorang kawan tentunya aku berangkat pulang.


Demi antisipasi, rencana awal berangkat dari kosan jam 5 sore. Telah kusiapkan matang benar kali ini. Namun pada akhirnya pun, aku beragkat sehabis Maghrib. Ini karena tunggu-menunggu diantara kami. Payah, aku sebenarnya tidak mengenal mereka(orang yang kutunggu), namun aku harus menunggu. Aku hanya sebagian pengikut yang serba tahu. Rombongan adalah orang baru, sedangkan aku hanya mengenal satu diantara mereka, tidak penting siapa saja mereka. Nanti malah bikin cerita nggak fokus.

Setengah tujuh kami menunggui anak-anak lainnya, padahal telah ku rencanakan jangan makan dulu, makannya di stasiun. Tahu jam segini belum berangkat juga, aku makan dahulu tadi. Ya sudahlah ya. Seperempatjam kemudian baru lengkap ini rombongan. Enam orang bersamaku. Dua orang Magelang, dua orang Kebumen, dan dua orang lain aku dan Temanku Embro dari Purworejo. Naik angkot lancer terkendali, tak terlalu bikin frustasi. Hanya macet sedikit di lampu merah setelah gedung rektorat.

Benar sekali perkiraanku, 45 menit sampai stasiun. Ya pasti lah, aku sendiri sudah berapa kali naik dan ke stasiun. Jam setengah delapan aku sampai stasiun. Dan apa boleh dikata, kereta memang sudah penuh, walau tak sepenuh pulang sebelumnya. Aku tuju dahulu si musholla. Sholat Isya dilakukan bergantian dengan Embro. Yah, sudah rasanya tak kupedulikan dengan empat anak yang lainnya tadi.

Sudah tak ingin lah aku berlama-lama dengan mereka, boleh kubilang mereka itu : Sanguin-sanguin dari kampong. Ada anak tingkat dua, ada anak tingkat satu. Yang tingkat dua omongnya banyak kali, layaknya pemandu wisata yang tahu segalanya. Ada dua anak tingkat satu setidaknya disana. Mereka jadi ajang pamer. Ajang uji pengetahuan anak tingkat dua. Namun aku tahu tak semua pengetahuan yang mereka sampaikan adalah benar. Aku hanya diam tak ingin ikut campur, tak kukenal siapa mereka lebih dekat.

Entah kenapa, aku jadi ikut berada di gerbong belakang. Bersama mereka-mereka lagi. Yang jelas aku tak enak harus berpisah dengan Embro, atau mengajak Embro meninggalkan mereka. Sampai di sana, telah disambut kami dengan dua anak lagi, sesama anak seperti yang lain. Asal kebumen satu orang, asal Purworejo satu lagi. Dua-duanya tahun kedua. Tapi tak pernah kukenal dia sebelumnya. Logatnya sesungguhnya berbeda denganku atau dengan Embro.

Pengenalan karakter mereka dimulai. Yang dari purworejo itu ternyata adalah sanguinisnya paling parah. Omongannya jelas banyak, dan jika aku anak tahun pertama itu, apa jadinya nanti. Sebagian omongannya banyak yang dilebih-lebihkan. Pakai kata-kata “sumpah”, “yakinlah”, “coba lah”. Yang satunya bebas, tak ada penilaian, hanya pamer sedikit, tak banyak bicara.

Sejam kemudian datang kereta Kahuripan, kereta tujuan akhir Kediri. Ternyata dua anak dari kebumen tersebut ditambah satu teman yang belum dinilai tadi akhirnya ikut kahuripan. Entah alasannya apa, mungkin ingin sampai lebih cepat. Yang jelas, kereta sama penuhnya. Kahuripan agak lama parkir di Kiara Condong. Menunggu penumpang naik barangkali. Seperempat jam berikutnya Kahuripan jalan, tiga anak yang tadi sudah tidak kelihatan. Tinggal kami berlima duduk di rerumputan. Kami satu kampus, tapi kami beda institusi. Dua dari ITB, tiga dari depertemen perindustrian dan perdagangan. Yang bertiga itu merupakan anak-anak D3 Instrumentasi dan Metrologi. Embro termasuk di dalamnya, yang dari ITB satunya adalah anak FTSL 2010. Asalnya Magelang.

Jam sembilan kurang kami naik ke kereta, saya khawatir nantinya bakal nggak kebagian tempat. Akhirnya kami semua naik, tak lama kereta berderik maju lalu mundur lagi: Tes Rem. Seleyang pandang ke sekitar, banyak anak-anak rupanya. Suaana jadi meriah oleh cicitcuit anak-anak. Dua dari enam penumpang rata-rata adalah balita.

Inilah lebaran, lebaran adalah saat yang paling menyenangkan bagi anak-anak. Sayang masa kecilku tidak berada di perantauan. Sejak kecil aku bersama kedua orangtua sedang bertetangga dengan Kakek dan Nenek dari kedua belah pihak, bapak dan ibu. Sebulan sebelum lahir, bapak dan ibuku justru memutuskan untuk pulang ke kampong halaman dan memulai kehidupan yang baru. Dari rantau di Jambi nun jauh di sana, ke kampong asal Purworejo sini. Setelah aku lahir tak ada niat atau maksud lagi untuk kembali ke Jambi. Jambi hanya kenang-kenangan ketika aku di kandungan Mamak.

Sudahlah.. Kereta lalu maju. Tepat setengah sepuluh malam kereta berangkat. Aku berdiri lima menit, lima menit selanjutnya duduk di pegangan kursi berbahan stainless steel. Seperti biasa kami harus berdesak-desak dengan asongan-asongan yang lewat. Anak-anak masih saja rebut berebut sesuatu, bercanda tawa, sejenak kemudian terdengar tangis rengekan satu diantara mereka. Ibunya lalu menenagkannya. Default.