Jambi – Purworejo (Catatan Hidup Orang Tua)


1980 orang tua saya transmigrasi ke Jambi. Sampai di sana tepatnya di Buluran, Telaianpura. Waktu itu beliau masih pengantin baru, masih muda-mudanya. Bapak sebenarnya sudah pernah ada di Jambi pun sudah sekitar 3 tahun. Jadi ketika menikah, beliau sudah cukup tahu dengan Jambi. Apalagi banyak saudara yang ada di sana. Ada Paman dan Kakak dari Bapak saya. Beliau memulai karirnya di perusahaan pengolahan kayu.

Kehidupan secara cepat membaik. Setahun setelah sampai di sana, lahirlah anak pertama. Sampai enam bulan berikutnya, Perusahaan Sawmills yang menaungi Bapak mengalami kebakaran hebat. Akhirnya perusahaan bangkrut, walaupun tidak sampai dipecat, penghasilan beluai turun drastis, dulunya berlebih, menjadi pas-pasan. Akhirnya diputuskan untuk pulang kembali ke Purworejo.

17 bulan di Purworejo bersama anak pertama, Ibu saya ditinggal mencari tempat berlabuh yang baru di Jambi. Setelah itu orangtua saya pindah tempat. Jauh dari Buluran beliau pergi ke Lambur, Tanjung Jabung. Bapak bekerja di sawmills lagi, kali ini di Lambur Sawmills. Mungkin karena pengalamannya, Bapak saya gampang naik pangkat. Namanya entah apa sebutannya, pake istilah Cina. Dari situ kehidupan perekonomian keluarga tak hanya cukup, jauh sangat lebih bahkan. Sering mengirim ke Kakek yang ada di Jawa. Di Lambur juga mereka dikaruniai lagi dua orang anak. Anak pertama yang dilahirkan di Buluran, Telanai kebetulan laki-laki, yang di lambur menyusul laki-laki dan perempuan. Keduanya lahir di tahun 1983 dan 1985.

Keluarga yang bahagia, kehidupan masyarakat maju dan perekonomian yang stabil goyah di awal 90an. Orangtua saya memikirkan bagaimana nasib sekolah anak-anaknya, karena tahun-tahun itu pendidikan di Sumatera saangatlah mahal dan jauh. Bayangkan saja SMP jauhnya 9 kilometer yang jalannya adalah hutan. Biaya yang dikeluarkan untuk sekolah SMP seperti biaya kuliah yang ada di Jawa. Kondisi luar jawa tahun itu bisa dilihat seperti dalam film Laskar Pelangi.

Akhirnya diputuskan sekeluarga untuk pulang kampung dulu. Sesekali menengok rumah dan melihat peluang usaha. Sampai di Jawa, rupanya hasilnya tidak sesuai harapan. Modal yang sekian lama ditabungin lewat kakek tidak ada. Tidak ada maksudnya habis sudah. Entah dibuat apa, menurut cerita Ibu sih kebanyakan buat foya-foya bikin Janengan, semacam tarian rakyat. Ada juga yang buat ‘mendaftar’ ABRI Pak Lik dan ‘nyalon’ lurah Pakdhe. Dan semuanya gagal.

Mencoba hidup dengan seadanya, Ibu dan 3 anak ditinggal lagi ke Jambi. Masih ada piutang yang belum dilunaskan, dan barangkali Bapak mendapat pekerjaan baru beliau berangkat.

Agak tak diduga-duga rupanya, tak sampai tiga bulan ditinggal Ibu saya rupanya hamil. Ibu saya panik, bagaimana bisa dalam kondisi yang susah seperti ini justru kewalahan mengandung anak. Apalagi dengan kondisi ditinggal suami dan suami belum tahu kalau istrinya mengandung, ibu saya mencoba melakukan tindakan bodoh. Mencoba menggugurkan kandungan. Memang kondisinya yang membutuhka dukungan justru yang terjadi adalah bersitegang dengan mertua. Namun untungnya usaha menggugurkan kandungan gagal.

Akhirnya ibu pun berangkat menyusul bapak di jambi bersama anak perempuan terakhir dan calon jabangbayi di dalam kandungan. Singkat cerita, setelah bertemu, memang bapak mendapat pekerjaan baru, namun serasa tidak senyaman yang dulu akhirnya diputuskan untuk kembali ke kampung dan memulai hidup baru bersama disana.

Berbekal piutang yang terbayar tersebut, bapak dan ibu memulai hidup bersama di kampung.

Pekacangan, waktu itu benar-benar payah. Listrik tak ada dan sering diterpa banjir akibat Sungai Lesung yang kapasitasnya kecil dan tanggulnya rapuh sehingga mudah jebol. Kehidupan masyarakat kolot dan lingkungan agama yang belum terbina dengan baik. Jauh dibanding dengan lingkungan Tanjung Jabung yang justru sudah baik meskipun mahal. Makanya agak menyesal juga kembali ke Jawa.

Beliau akhirnya membeli sepetak tanah dan membangun rumah. Rumahnya pun gedhek(rumah kayu). Dengan bantuan tetangga bapak saya memulai hidup. Tahun 92 lahir anak yang hampir digugurkan tersebut. Beruntung waktu itu punya tetangga kaya dan dermawan, dengan modal gabah 1 ton, bapak saya memulai usaha. Memberi nilai tambah segitu gabah dengan menjadikan beras dan menjual ke pasar-pasar. Ekonomi keluarga mulai bangkit kembali.

…………………………………………………………………………………..

Teman-teman bisa lihat, ceritanya Jawa tahun orde baru menjadi pusat penumpukan.rah Pembangunan yang dilakukan tidak disebar ke daerah lain, bahkan masalah pendidikan. Yang lebih tidak benar adalah, di Jawa sendiri terbatas di kota-kota. Beruntung saya hidup di era yang tepat, milenium 2000 adalah fase semuanya mulai bangkit. Di kampung saya, mulai nampak pembangunan, meskipun baru sekedar listrik dan jalan berpasir..