Pernah untuk waktu yang sangat lama, kami tinggal di daerah yang senyap, dimana kumandang iqamah isya menjadi penutup hari, dan kokok si jago saling bersahutan perlahan membangunkan manusianya dari lelap. Adzan dan puji-pujian menyusul mengantarkan pada dua rakaat jelang terbit itu. Hari-hari yang kami lalui tak ada yang lebih berat ketimbang harga hasil palawija yang terlalu murah, atau serangan hama kala padi tengah berisi. Ya, sebagian besar kami memang petani, Bapak saya, Paman saya, semuanya petani. Beberapa yang berhasil dengan studinya ada yang menjadi pegawai negeri di sekolah-sekolah sekitar.
Kami tinggal di Purworejo, tepatnya desa Pekacangan, Kecamatan Pituruh. Tapi saya rasa, Pekacangan itu tak ubahnya desa-desa lain di hampir seluruh Purworejo. Kanan kiri kami sawah yang menghampar, Samudera Hindia yang teguh di sebelah selatan, dan barisan Perbukitan Menoreh yang kukuh membentang di sisi timur memisahkan kami dari Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kabupaten Magelang, dan juga Wonosobo di sisi utaranya. Jadi, selain petani, tentu ada nelayan di pesisir selatan, juga yang berkebun di Perbukitan Menoreh sana. Lengkap, mulai dari rempah-rempah, hingga sang raja buah, Durian.
Nasib kami tak pernah begitu signifikan berubah, tak seperti wilayah Pantai Utara Jawa sana. Jalan-jalan kami banyak berlubang, berkelok, dan kurang penerangan. Hingar-bingar ibukota juga hanya kami lihat di layar kaca, atau dari sanak yang merantau kesana. 98 tak semencekam itu di sini, kejahatan yang aneh-aneh hanya ada di Buser Indosiar, bahkan untuk sebuah ‘love affair’, kami tabu membicarakannya. Kerusuhan di Sampit, Gerakan Aceh Merdeka, Papua, Palu, Timor Timur, dan lain-lain tak begitu mengena dibenak kami, selain mungkin bagi mereka yang Bapaknya tentara yang bertugas di sana. Paling hanya ketika Gayus Tambunan tertangkap KPK, gara-gara di KTPnya tertulis Purworejo sebagai tempat lahir, muncullah kami di layar kaca. Kami benar-benar khusyu tumbuh bersama alam yang damai, sejuk, dan harmonis ini.
Namun rasanya, sepuluh tahun terakhir, semua terasa begitu berbeda. Saya sendiri yang memang sudah lama meninggalkannya, atau memang beginilah dunia bergerak serempak. Masalah-masalah yang tadinya hanya kami temui di ibukota, kini hadir di sana. Tak terlewat tentunya Sang Proyek Strategis Nasional. Mulai dari Bandara Baru NYIA yang lokasinya bersinggungan langsung dengan Purworejo bagian tenggara, hingga kini Bendung Bener yang benar-benar PSN berlokasi di Purworejo.
Saya enggan membicarakan keberadaan proyek-proyek strategis tersebut dari sisi kebermanfaatan. Tentu pemerintah sudah punya latar belakang dan kerangka acuannya sehingga proyek ini terus didorong dan dikejar. Apakah memang meningkatkan taraf hidup masyarakat Purworejo keseluruhan, atau hanya sekedar ambisi legacy, proyek ini sudah berjalan dan akan terus berjalan, kita bisa apa?
Sudah dua hari ini, trending topik Twitter berisi tentang problematika Wadas. Ada indikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh aparat ketika mengamankan proses pengukuran batas-batas tanah oleh Kantor Tanah Purworejo, di lokasi yang warganya sudah setuju, di sekitaran Desa Wadas. Desa Wadas sendiri bukan wilayah yang akan tenggelam akibat adanya pembangunan Bendung Bener ini, melainkan menjadi borrow area untuk bahan galian C (pasir, batu, kerikil, dll). Memang, dalam pembebasan lahan ini, problematikanya ada pada belum sepakatnya seluruh warga Desa Wadas untuk dijadikan tambang galian C.
Dalam video-video yang beredar di sosial media, beberapa warga ‘diburu’ dan ditangkap oleh aparat karena dianggap provokatif. Tak tanggung-tanggung, jumlah aparat yang ikut terlibat cukup banyak, baik yang berseragam, maupun tidak. Narasipun semakin liar di media sosial, ada yang mengklaim pengamana, ada yang menyebut pengepungan, represi, pencidukan, dan lain-lain.
Pada titik ini, saya menyadari sesuatu, angin telah berubah di Purworejo. Wilayah yang dulu jauh dari obyek pembangunan ‘pusat’ kini menjadi tulang punggung target nasional. Dimana ada gula, disitu ada semut berkerumun. Hal yang tidak biasa kami terima, bertemu semut dari belahan dunia lain, profesi lain. Selama ini kami alpa dari pemberitaan, namun ketika sorot itu mengarah ke kita, kita sendiri yang kikuk.
Seorang warga yang sehari-hari bekerja di ladang terheran-heran, baru tau dia ada profesi juru ukur, juru kamera, juru bicara, informan, Lembaga Swadaya Masyarakat, penata lingkungan, konsultan perencana, Lembaga Bantuan Hukum, Ormas, Polisi pengamanan, Polisi penangkapan, dan masih banyak lagi. Sayangnya mengapai tidak dia jumpai; Kepala Daerah yang dulu dia lihat di mimbar janji, yang katanya akan melayani dan mengayomi.
Semoga masing-masing dari yang berkonflik di sana segera mendapat cahaya terang untuk saling bertemu dan bersepakat, pemerintah dapat melayani dan mengayomi dengan semestinya.
Namanya angin, tentu ada barat dan timurnya. Angin timuran telah berubah menjadi baratan bagi Purworejo. Badai ‘Proyek Strategis Nasional’ telah sampai di sini. Hujan air mata sudah membasahi Desa Wadas. Warga telah terbelah menjadi wayang bernyawa dalam babak ini. Sudah seharusnya kita semua mengantisipasi dan memitigasi potensi ‘air’ ini. Jika tidak, air akan menenggelamkannya. Dimulai dari pemerintah daerah yang lebih cekatan dan rajin berdialog mengenai peluang dan tantangan kedepan, juga warga yang mulai sadar dengan dampak dan gerakan apa yang dapat dilakukan. Jangan cuma memberi panggung para bedebah negeri yang diam-diam sedang bancakan cuan. Karena setelah Bendung Bener, Tol Yogyakarta – Cilacap juga akan menyita perhatian kita.
Tetap Berirama!