Cangkring : Sebuah Sore Yang Indah


Hari ini, 9 Juni 2011 jam 16.15 aku menstarter Honda Kharisma hitamku.

“Siram yang disebelah barat kali ya, 2 baris saja.” Kata Bapakku dalam bahasa jawa.

“Oke.” Jawabku enteng.

Ah, angin sore lembut sekali melewati sela-sela tubuhku yang sedang nangkring di motor yang semok ini. Udara sore yang begitu semilir terasa nikmat tiada tara. Lika-liku jalan tanah menuju sawahku yang ada di ujung desa itu membuatku bergoyang naik turun. Sambil hati-hati tangan memegang kendali rem dan kaki lihai menginjak transmisi.

Sampai juga di sawah yang dimaksud. Barisan pohon cabai varietas ‘Prabu’ ini sebenarnya sudah tidak muda lagi, sudah sekian banyak di panen, panen secara hijau. Prabu itu cabai yang halus, memang pantesnya buat tumis saja, jadi cocok buat dipanen hijau. Berbeda dengan cabai yang ada di sebrang kali, yaitu TM. TM jenisnya kriting, jadi cocok untuk sambel dan biasanya dipanen merah.

Enam baris tanaman cabai yang tiap-tiap barisnya saling berpasangan ini sudah melambai-lambai untuk disiram. Andai mereka bisa bicara pasti akan bilang,

“Wah ada Den Huda. Udah lama ya nggak disiramin oleh Den Huda. Sini sini den, kita udah haus.” Genit sekali.

Aku tersenyum, jasa cabai mungkin sudah tak terhitung buat keluagaku ini. Aku bisa sampai bandung barangkali juga karena pohon cabai ini.

Pertemuan pertama dengan cinta monyetku. Aku jadi teringat, semenjak umur empat tahun aku selalu diajak untuk mengenal cabai, aku sering diajak menyiangi, menyirami, memanen, dansebagainya. Setelah menginjak SD, aku dibelikan sebuah timba(alat menimba air) dengan ukuran paling mini. Mulai saat itu aku ikut membantu menyirami. Kemudian, tiap sore setelah pulang sekolah, aku berjumpa dengan pohon cabai. Sebelum asyar tiba aku harus berpisah, karena setelah asyar aku harus bermain bola di lapangan balai desa.
Dengan timba besar ( tembor ), aku memulai mengambil air di sumur-sumur galian. Panjang tali cuma 2 meter, memang tak begitu dalam sumber air. Sedalam permukaan air kali lesung. Ketika sudah besar begini, mengambil air satu tembor tinggal sekali tarik saja, tak seperti dulu ketika kecil, kudu berusaha berkali-kali menarik supaya sampai di permukaan.

Aku jadi teringat setahun yang lalu. Setahun yang lalu, aku pernah disuruh untuk menyiram cabai lagi. Dasar belagu, maunya nggak mau aja. Mikirnya ngapain juga, udah gede gini, udah kuliah. Waktu itu cuma seminggu juga dirumah masa cumin disuruh nyiramin cabai kerjaannya. Aku tak bilang ke bapak, tapi mukaku bilang begitu ke beliau.

Lalu dengan simpelnya beliau berkata, “ Bukan bapak ingin dibantu nyiramin tanaman cabainya, tapi supaya kamu inget susahnya. Supaya kamu tak lupa ketika jadi pemimpin nanti akan susahnya hidup jadi orang kecil.”

Seketika itu aku tersentak, aku mencoba menterjemahkan perkataan-perkataan bapak. Beliau memang kurang pandai memilih kata untuk menyempaikan maksudnya. Pidato-pidato sambutan yang sering beliau berikan cukup hafalan saja barangkali.

Waktu itu aku tafsirkan makna yang tersirat dalam ucapan bapakku itu. Beliau berharap, suatu saat aku menjadi seorang pemimpin. Sebagai bekal menjadi pemimpin, beliau ingin menyampaikan bahwa seorang pemimpin nggak boleh sombong. Seorang pemimpin tidak boleh lupa keadaan rakyatnya. Dlam hal ini beliau ingin mengingatkan anak-anaknya untuk tidak lupa pada perjuangan. Menjadi orang kecil dan susah, kepanasan ditengah sawah, bersusah payah tanpa mengandalkan irigasi mencoba kreatif dengan menanami cabai yang butuh modal besar dan perawatan ekstra keras.

Kali ini aku menyirami cabai dengan senang hati. Kadang-kadang terperosok ke lungka (tanah kering pecah-pecah). Bermain dengan air, bermain dengan cabai, tarik tambang melawan gaya gravitasi. Sampai ujung baris pertama aku disapa oleh tetanggaku, namanya Wo Painah.

“Eleuh eleuh, masih mau kamu nyirami cabai?” Perkataannya ngeledek.

“Iya nih Wo,” Jawabku sambil tersenyum.

“Nggak lecet kakimu nanti?” Beliau kembali ngeledek.

“Lah, kakinya orang desa, sama aja Wo. haha” Balasku.

Dari sudut yang lain kudengar deringan lagu amrik. Sumbernya seorang berbaju merah bertopi coklat memegang sabit dan karung. Yap, dari seorang tukang pencari rumput. Umurnya sekitar 40an tahun. Nampaknya asik sekali lagu yang dia dengarkan.
Selang beberapa waktu kemudian, nada lain berdering, ternyata sebuah telpon dari seseorang. Ditengah sawah yang luas ini, dia pasang mode Loudspeaker di teleponnya. Terdengar suara halo dari seoang perempuan. Dengan lantang pula tukang pencari rumput tersebut bicara. Aku tak peduli dengan kontennya, namun terdengar semacam kangen-kangenan begitu. Sang perempuan di telepon bertanya kapan dia mau ke timur(barangkali perempuan ini rumahnya jauh di arah timur). Ya intinya saling rindu, barangkali sedang pacaran, ataupun memang sudah menikah, tak tahulah.

Bahagianya teknologi sudah masuk. Orang macam pencari rumputpun bisa saling rindu-rinduan dengan pacarnya. Di tengah sawah yang luas pula mereka bercengkerama, bagaikan si perempuan ada di depannya.

Lalu imajinasi saya langsung terbang ke beberapa puluh tahun kedepan. Duapuluh tahun kedepan, teknologi telekomunikasi sudah semakin maju. Teknologi yang sekarang sedang dikembangkan oleh peneliti bukan cuma gambar dan suara, tapi 3 dimensi hologram seperti dalam filem kartun muncul di kehidupan nyata. Menjadikan orang yang jaraknya ada jauh puluhan bahkan ribuan kilometer seakan-akan sedang berhadapan dengan sebuah poket teknologi.

Lagu galau menjadi penutup. Lagu kerispatih menutup aktivitas mencari rumput orang berbaju merah tadi. Dia beranjak, akupun nampak selesai dua baris. Lagipula matahari sudah semakin kuning, semakin menanti ke senja. Pegunungan Korowelang di sisi barat menyambut matahari yang lelah menyinari seharian Kabupaten Purworejo.

Aku beranjak kembali ke motor. Aku tak hendak menstarter motorku. Motor menghadap ke barat, pas sekali menghadap ke surupnya senja. Aku masih menunggu matahari tenggelam ke pangkuan Pegunungan Korowelang. Aku nangkring dan menikmati senja.

Indah sekali rupanya, Subhanallah luar biasa sekali. Langit bersih menyisakan awan-awan Sirrus terpendar di angkasa. Bagaikan imajinsi lempeng-lempeng batuan yang tersubduksi, ataupun batuan-batuan metamorf yang saling sesar. Sedangkan Kumulus humilis mantap menghiasi langit bagaikan benih-benih kehidupan yang Tuhan anugerahkan. Stratokumulus kemudian muncul sebagai lapisan-lapisan yang tersorot, bagian depannya menguning, bagian belakangnya tetap putih. Yang paling seru adalah Kumulus Kongestus yang bagai kapal induk yang saling balapan menuju perang di ujung mentari.

Anjir, Subhanallah, pemandangan tersebut bertahan lama, mungkin karena angin sore yang sudah tak terlalu kencang atau sudut relatif saya nol derajat sehingga geraknya menjauhi namun tak terlalu kelihatan. Aku tertegun, sayangnya tak kubawa kamera apapun.

Aku nikmati sambil berkedip-kedip karena mataku juga sambil menghadap matahari sore. Berkedip-kediplah matahari itu, lalu seolah-olah tersenyum. Aku takzim lama sekali.
“istriku, suatu saat kau harus ikut melihat ini bersamaku.” Tiba-tiba hatiku berkomat-kamit. Matahari turun memancarkan sinar kuning.