Untuk adik-adikku khususnya lulusan 2011
Saya akui saya orang kampung, rumah saya dekat dengan perbatasan Purworejo dan Kebumen. Saya asli dibesarkan ditanah Purworejo yang terkenal dengan adem, ayem dan tentremnya itu. Orangtua saya cuma seorang perangkat desa yang gajinya nggak sampai 500ribu dan itu nggak dibayarkan setap bulannya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ayah saya bekerja seperti warga lain: menjadi petani. Cukup membantu untuk hidup sederhana dan nggak neko-neko. Menyekolahkan anak-anaknya minimum sampai tingkat SMA dan saya salahsatunya yang bisa melanjutkan untuk kuliah.
Mimpi saya kecil adalah menjadi insinyur. Bahkan setelah mengikuti diklat dokter kecil kelas 4 SD pun niatan saya tidak berubah. Insinyur adalah harga mutlak. Ditanya siapa saja, mau jadi apa? Insinyur. Padahal saya waktu itu samasekali buta akan apa itu insinyur. Yang ada dalam benak saya adalah melihat uang 100ribu bergambar seorang proklamator bergelar insinyur. Aku ingin bisa menjadi seperti dia, paling tidak hanya pada gelar saja.
Jenjang pendidikan laun lambat dilewati dengan sedikit nafas lega, lega karena mendapat nilai lumayan baik, agaknya karena masalah biaya saya masih banyak pikiran. Saya melanjutkan sekolah di kota-pun atas usul kakak saya yang kebetulan saat itu sudah mulai mapan dan bersedia membiayai segala kebutuhan saya.
SMA kelas 3 saya mau tidak mau harus dihadapkan untuk kemana setelah lulus. Setelah lulus saya mau kemana? Begitulah. Saya hanya berpikir pada satu fokus saja. Fokus saya mencoba mengikuti jejak kakak saya dengan masuk perguruan tinggi kedinasan seperti STAN, AMG, STIS, dll. Saya cukup berjuang ekstra dengan mengikuti try out sana sini, bahkan sampai ke Jogja.
Awal semester 2 seperti sekarang ini, aku disibukkan oleh belajar dan ujian. Fokus masih STAN meski godaan perguruan tinggi lain sudah mulai membuka pendaftaran da seleksi. Pas saat itu ada SIMAK UI dan UTUL UGM, PMDK UNS. Kala teman-teman sibuk bolak-balik Jogja-Purworejo atau Magelang-Purworejo saya justru santai-santai bermain di rumah kala akhir pecan. Sampai pada saat yang telah ditentukan Allah, saya ditegur seorang sahabat saya: “Eh, kamu kok santai banget sih yang lain pada pusing-pusing mikirin UM, SIMAK. Kamu kapan gerak?”. Simpel saja jawabanku, “belum ada yang cocok”.
Barulah aku terpikir, mau kemana saya saat ini? Fokusku mulai goyah, mulai lungsur oleh berbagai godaan. Akhirnya kulihat pada seorang teman sedang sibuk menyusun sesuatu. Aku akhirnya ngobrol sambil makan break sebelum jam tambahan. Dia cerita bahwa ITB sebenarnya membuka beasiswa, banyak sekali beasiswa. Dalam hal ini aku diceritai mengenai Beasiswa ITB Untuk Semua.
ITB? Oh ada sedikit gambaran dari briefing kakak-kakak kelas kami yang sudah masuk sana. Seperti kampus-kampus lain, pikirku. Akhirnya aku putuskan untuk mencoba, aku meminta sebanyak duaratus ribu rupiah kepada orangtuaku. Aku beralasan itu untuk mendaftar UM-UNY. Dalam meyakinkan orangtuaku kupakai alasan bahwa aku akan jadi guru saja. UNY adalah cadangan terakhir apabila aku nggak masuk kedinasan.
Dari uang itu aku pakai buat kesana kesini membuat surat-surat untuk mengajukan beasiswa ini dan cadangan lain-lain. Sejak itu aku rajin-rajin membuka website ITB yang menampilkan kira-kira jurusan mana yang bisa aku masuki atau aku sukai.
Berkas-berkasku belum juga selesai, temenku yang bercerita soal beasiswa itu padahal sudah mengirimkan berkas-berkasnya. Namun akhirnya aku aku kirimin juga berkas-berkasku itu. Aku lega sekali, itu lebih dari sekedar penentram, tapi sebuah harapan. Efeknya aku lebih santai menghadapi candaan teman-temanku yang tadinya ngece kalo aku belum nyobain manapun. Ya walaupun itu juga belum tentu lolos seleksi, bebaslah.
Sampai juga waktunya pengumuman lolos tidaknya beasiswa itu. Pada akhirnya, kecewa juga karena beasiswa dari BIUS itu tak kudapatkan. Sia-sia juga uang pendaftaran UNY yang segaja aku salahgunakan itu. Namaku tak tertulis dalam daftar calon penerima beasiswa BIUS itu.
Aku terkejut pas ujian praktik olahraga aku dipanggil BP sekolah, aku kira aku kena masalah apa, hal ini belum pernah terjadi pasalnya saya termasuk orang yang tertib dan tidak neko-neko di sekolah. Akhirnya tanpa diduga-duga, guru BP member salaman terhangatnya. “Ini maksudnya apa Nak? Baca surat ini!”, saya bingung. Lalu kuambil surat itu, kubaca Kop suratnya dari ITB. Ah, paling pemberitaan kalau saya tidak diterima. Ah baik sekali ITB mengirim surat itu, haha bikin tambah sakit ati aja udah nggak dapet tapi dikirimin surat.
Nyatanya setelah saya baca, halaman pertama memang tidak lolos BIUS. Namun lembaran pertama saya balik ke lembaran kedua. Mata saya terbelalak seketika. Bukan apa-apa, ternyata bukan lolos begitu saja aku dari BIUS, ternyata ITB berhati baik sekali mengalihkan beasiswa yang aku minta ke beasiswa penuh ITB. Saya cermati lagi, dari info yang saya dapatkan meski tak sebesar BIUS, beasiswa penuh masih lumayan karena sifatnya membebaskan biaya kuliah dan biaya masuk dimuka yang saat itu mencapai 25juta.
Aku bersujud syukur. Tiada sia-sia juga akhirnya, walaupun belum masuk, setidaknya ini kesempatan saya untuk membuktikan pada teman2 saya dan diri saya sendiri bahwa saya bisa dan mampu. Hal itu yang membuatku tambah semangat, berkobarlah saat itu. Semangat berlipat ganda nggak sekedar linier tapi non-linier orde tinggi.
Kuselesaikan berkas-berkas sebelum validasi, aku berangkat ke Bandung bersama banyak teman-teman. Ada 25an anak yang ikut seleksi USM Terpusat di Bandung. Aku paling beda sendiri, aku paling bisa dibilang nekat, karena aku orang yang nggak punya saudara di bandung dan berkas-berkasku ada yang belum lengkap. Dengan niat dan semangat tinggi aku bersama beberapa teman lain sudah ada di gerbong ekonomi kutojaya selatan dan menghadapi jalanan besi yang terus digesek dan menjerit ketika daya gesek meningkat karena aktivitas rem ketika menjelang stasiun.
Semuanya beres, aku mendapat tumpangan bersama keluarga sahabat saya yang punya keluarga di Bandung. Bandung adalah dingin, bandung adalah kembang, bukan sekedar kembang warna warni yang berbau wangi, juga kembang-kembang desa yang biasanya dikampung langka di sini menjadi khalayak umum. Namun ada yang nggak membuat aku suka dengan bunga-bunga disini, disini bunganaya Nampak tak seaalami bunga desa di kampungku. Pakai pestisida berbagai macam, dipoles bedak warna-warni dan berpakaian aneh-aneh.
Sehari sebelum ujian berlangsung, saya berkumpul lama bersama teman-teman. Sekedar menyiapkan ujian esok hari, belajar bersama dan berdoa. Ada hal yang membuat konsentrasiku pecah saat itu, ada tegang dan ada galau menyelimuti. Semua ada dalam malam ujian itu. Fokusku hilang, sampai agak larut aku baru tidur karena banyak berpikir dan merenung. Sayangnya isi renungan itu aku lupa, yang paling jelas, “its that really place that God has set for me?”, “inikah tempat yang telah Allah tetukan untukku?”, dalam hati aku masih berpikir STAN, AMG, dll.
Esoknya aku sms orangtua melaui sanak saudara dekat. Meminta do’a dan dukungan. Kakak, Pak Lek, Bapak Ibu, dll. Walaupun masih belum lega, aku melangkah pasti ke kampus ganesha untuk merebut sebuah tempat di sana. Itu pasti!!
Ujian selesai, Allah memberikan kelancaran. Aku pulang untuk berkemas pulang ke Purworejo. Sore-sore aku duduk termangu di Balkon rumah saudara sahabatku itu. Kupandang mega yang mulai menguning dan matahari yang sudah mulai tenggelam lebih awal tertutup bukit sebelah barat daya bandung.
Dalam kereta pulang kami bersama teman-teman lain saling bercengkrama, anggota kami bertambah lantaran anak-anak yang tadinya berangkat berbeda waktu, sekarang pulang sewaktu. 20 orang dari kami cukup untuk membuat satu gerbong terlihat lebih ramai dibanding gerbong lain. Kami terlelap dalam gujesan Sawunggalih Selatan, bandung kutinggalkan. Bisa saja itu untuk yang terakhir aku kunjungi, tapi dalam do’aku itu hanya yang pertama aku tinggali. Karena akan ada pulang-pulang berikutnya dan sampai pada akhirnya nanti aku sebut itu bukan pulang, tapi berangkat.
Diterima enggaknya aku, diumumkan sehari sebelum pengumuman ujian nasional. Karena masih down servernya, aku baru buka paginya. Jadi selepas aku sampai di sekolah, langsung saja aku buka pengumumannya. Dan ternyata tertulis diterima di : FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN. Aku lagsung sujud syukur. Aku lari ke masjid SMA, lalu aku sholat dhuha, seperti kebiasaan saat masih dalam suasana KBM(kegiata belajar mengajar). Allah telah menurunkan rizkinya yang ada di langit dengan memberikan jalan aku untuk mengambilnya di Bumi. Maka nikmat mana yang harus aku dustakan?
Segitu saja dulu teman-teman, semoga dapat menginspirasi. Untuk teman-teman SMA, aku punya beberapa pesan buat kalian;
1. =>Tuhan telah merencanakan jalan, kita hanya bisa mencoba. Try your best!
2. =>Jangan takut masalah biaya, dulu saya yang masih pusing mikirin biaya, Alhamdulillah karena percaya kalau belajar adalah urusan kita dengan yang diatas, maka Dia akan memberikan jalan. Yakinilah bahwa belajar adalah bukan hanya untuk mendapatkan gelar sarjana, tapi yang paling pentig adalah proses yang akan diikuti sehingga kita menjadi lebih bersyukur.
3. =>ITB, punya banyak beasiswa, hanya saja kurang diekspor ke media. Jangan takut masuk itb karena biayanya, tapi takutlah apabila kalian masuk ITB kalian akan dibentuk menjadi buruh-buruh perusahaan multinasional dengan gaji tinggi.
=>=> Masuk dulu, jangan masalah biaya, Allah telah rencana yang indah buat kita.
#cerita ini bukan fiksi, tapi kenyataan. Silahkan dijadikan untuk kalian motovasi dan inspirasi.. 🙂
0.000000
0.000000