Menyerah Pada Federasi, Memulai Dari Diri Sendiri


Pernah ngga terlintas dipikiran, bagaimana cara memperbaiki kondisi sepak bola Indonesia yang begini carut-marutnya?

Kalau ingin memperbaiki, rupanya kita perlu tau bagaimana sistem di dalamnya bekerja.

Sepak bola merupakan olah-raga akar rumput. Jika ditarik dari struktur masyarakat paling bawah, sepakbola bisa berangkat dari level Rukun Tetangga (RT). Kompetisi terkecil biasanya dilakukan antar RT. Dari RT, biasanya akan ada kompetisi antar dusun atau desa. Setelah antar dusun/desa kompetisi dapat berlanjut ke antar kecamatan. Dari antar kecamatan nanti antar kabupaten, kemudian baru sampai antar provinisi.

Tapi ternyata tidak sesederhana itu. Ternyata sepak bola bukan sesuatu yang struktural dapat disamakan dengan strata pemerintahan. Hal ini tidak lepas bahwa sepak bola memiliki banyak fungsi; olahraga, permainan, dan hiburan. Dalam hal ini hiburan adalah sesuatu yang dipertontonkan kepada masyarakat dengan maksud memberikan relaksasi dan pengaruh emosi pada penontonnya. Sepak bola Indonesia yang sedang kita bicarakan tentu mengenai fungsinya sebagai hiburan. Karena kalau dari sisi olahraga, hal ini telah tuntas membicarakan sepakbola memberikan manfaat bagi kesehatan. Sedangkan sepakbola sebagai permainan, peraturannya sudah mentas di law of game. Segala macam perubahan dan adaptasinya, sepak bola sudah cukup kukuh dengan peraturan yang adil.

Sepak bola sebagai hiburan ini yang membuat tata kelola sepak bola memiliki struktur lebih mirip kesenian dibanding pemerintahan. Sepakbola sebagai hiburan juga yang membawa kita kepada sepakbola sebagai industri, industri hiburan.

Maka dari itu, dalam struktur terendah sepakbola sebagai hiburan, terdapat grup/klub/persatuan/perserikatan/yayasan/organisasi (dalam tulisan ini kita sebut ‘klub’ saja) sepak bola. Sama seperti sebuah grup kesenian; music, drama, teater, lawak, dan lain-lain, sepakbola berpanggung dalam kelompok. Dalam implementasinya, sebuah klub tidak dapat berpanggung sendiri bila ingin menampilkan sebuah hiburan. Melainkan harus bertanding atau saling berlawanan dengan yang lain. Hal ini yang membuat klub sepakbola harus bermufakat dengan klub lain untuk dapat tampil. Permufakatan antar klub itulah yang mendasari organisasi sepakbola yang ada di Indonesia. Dalam hal ini permufakatan tertuang dalam bentuk asosiasi.

Asosiasi sepakbola, seperti asosiasi lain, bergerak atas dasar keputusan bersama dari sebuah kongres anggotanya. Baik untuk menunjuk pengurus maupun membuat mekanisme permainan, yang sering kita sebut kompetisi. Dalam hal ini di Indonesia, strata asosiasi terbagi menjadi asosiasi pusat, dan asosiasi provinsi. Asosiasi pusat dalam hal ini disebut sebagai induk asosiasi bernama Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Sementara itu Asosiasi Provinsi (Asprov) berada di tingkat provinisi. Sepengetahuan saya, tidak ada lagi asosiasi di bawah Asprov. Hal ini karena mekanisme di Asprov sudah cukup mewakili seluruh entitas klub/grup sepak bola di daerah-daerah. CMIWW.

 Untuk menghasilkan kompetisi yang kontinyu dan adil, PSSI sebagai induk sepakbola membuat sistem kompetisi berbentuk piramida. Kompetisi teratas merupakan yang tertinggi dengan peserta lebih kecil, dan semakin ke bawah semakin besar. Sebuah klub mendapat predikat berprestasi apabila berhasil menjadi juara atau naik kasta kompetisi. Begitu juga sebaliknya. Salahsatu bentuk sertifikasi terkait prestasi adalah adanya lisensi klub, yang nanti akan kita bahas lebih lanjut.

Dalam perjalanannya, kepemilikan klub-klub ini awalnya ada yang memang dari awal perseroan dengan sokongan dari swasta, namun ada juga yang mendapat dukungan dari pemerintah daerah. Hingga kini, kepemilikan klub sepakbola di Indonesia dimiliki oleh beberapa gelintir elite, mulai dari politisi yang aktif menjabat ataupun tidak, hingga pengusaha dan tokoh masyarakat. Hal ini yang membuat kepemilikan sebuah klub sangat dinamis.

Namun perkara kepemilikan klub sepakbola lebih rumit dari itu. Ternyata ‘nama klub’ itu sendiri di asosiasi hanya merupakan sebuah lisensi. Tidak melekat dalam tubuh perseroan. Hal ini mendorong banyak perseroan menjual-beli ‘klub’. Seperti yang terjadi pada pada banyak peserta Liga 1 dan Liga 2 saat ini yang berulang-kali mengalami pergantian nama seperti Bali United, Madura United, RANS FC, Persis, Putra Samarinda, dan masih banyak lagi, karena dipegang oleh perseroan yang berbeda. Hal ini yang membuat begitu mudah oknum elite masuk dengan modalnya dan secara instan mentas dipanggung teratas tanpa harus melewati piramida paling bawah.

Pola kepemilikan ini yang membuat sepakbola Indonesia jauh dari kata maju. Saya pertamakali mendengar istilah ’football family’ dalam Mata Najwa entah bagian mana, tapi mendengar argumen salahsatu Komite Eksekutif (EXCO) PSSI dengan arogan mereka berlindung dalam payung statuta FIFA untuk menghindar dari kontrol-kontrol sosial. Hal ini yang membuat sepakbola nasional nampak akan semakin jauh dari kata maju.

Berangkat dari Asprov selaku asosiasi daerah sendiri yang anggotanya adalah pemilik-pemilik klub di daerah ini tetek-bengek nasib sepak bola Indonesia ditentukan. Muncul pertanyaan besar, siapakah yang akan mengontrol kinerja asosiasi ini? Sementara FIFA sebagai induk federasi dunia juga dengan tegas menolak kehadiran pemerintah untuk ikut intervensi dengan dalih sepak-bola harus bebas dari politik. Padahal secara mengakar, praktik politis terjadi di struktur sepakbola tanah air.

Football Family sendiri sebagai entitas dalam kongres Asosiasi terdiri dari Klub, Perangkat Pertandingan, dan Operator Liga. Tidak hadirnya masyarakat umum, dalam hal ini perwakilan pendukung sepakbola menjadi tanda tanya besar bagaimana urusan sepakbola ini bisa memperbaiki diri melalui kontrol internal dan eksternal.

Dalam sebuah kongres sendiri terlihat sekali mekanisme transaksional dalam menentukan keputusan bersama. Angan pun melayang, sepakbola negeri dikendalikan oleh pengusaha, politisi, publik figure yang integritasnya dipertanyakan?

Sudah berulang kali Kepemgurusan PSSI lengser dan terpilih. Sebagian besar bahkan dilengserkan atas desakan masyarakat, namun apakah betul-betul itu efektif? Tidak sama sekali. Lagi-lagi karena kongresnya hanya transaksional. Pejabat-pejabat baru hanya berputar-putar dilingkungan itu saja. Katanya minta serahkan sepak bola pada ahlinya, nyatanya kepengurusan selalu tidak jauh dari elite-elite politik juga.

Pada akhirnya, sepakbola hanyalah industri hiburan, bagaimana kita akan menuntut asosiasi menghasilkan prestasi yang bersaing dengan negara lain jika tetek-bengek kompetisi dan pembinaan hasil dari kompromi mereka-mereka juga.

Rakyat Indonesia merupakan market yang besar untuk ‘hiburan’ sepak bola. Atas nama primordialisme dan nasionalisme rakyat terbuai oleh rasa memiliki, yang padahal tidak mereka miliki sama-sekali. Ratusan milyar atau bahkan triliunan uang yang berputar dari tiket, merchandise, hak siar adalah bisnis empuk pemilik klub sepakbola (dan mafianya) yang dengan sesuka hati mereka dengan mudah saling berkompromi. Bagaimana jika degup decak merinding hati ini menonton sepakbola adalah hasil sutradara dan penulis skenario tak kasat mata? Belum lagi kepentingan politik yang dipertontonkan dengan gamblang. Hal-hal penuh kompromi takkan menghasilkan profesionalitas.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah mengambil sikap. Ya, sepak bola hanya sebuah hiburan. Jika dia hanya sebuah hiburan, mengapa hiburan justru membuat kita tidak terhibur?

Tapi kan kita ingin melihat tim nasional juga dapat bersaing di level internasional?

Ya, saat ini sepakbola adalah hiburan global. Liga Inggris menjadi tayangan global yang ditonton semua orang, terbuka dengan pemain mana saja seluruh dunia yang mampu membuktikan diri. Begitu pula liga-liga terkenal lain. Pemain-pemain berbakat dari Indonesia harus berani go abroad untuk membuktikan diri pada dunia. Begitu pula dengan Negara-negara dengan ekonomi ketiga yang prestasi sepakbolanya mentereng, seperti Brazil. Meskipun federasi mereka juga sama kacaunya, namun lingkungan untuk pemain berbakat pergi ‘abroad’ sudah terbentuk. Pemain nasional lebih terasah di kompetisi luar. Terlambat, namun memang itu satu-satunya cara agar Timnas memiliki pemain yang solid.

Keinginan untuk abroad ada, kesempatan ada, namun ternyata Liga Indonesia menawarkan benefit yang lebih besar. Pada kasus beberapa bintang berbakat yang akhirnya hanya memperkuat tim lokal. Kebanyakan pada akhirnya mereka menyesal tidak berani mengambil tantangan. Hal ini menunjukkan budget hiburan masih surplus ketimbang output yang dihasilkan; kompetitif, menghasilkan pemain-pemain bagusa dan bersaing di kancah internasional. Klub-klub masih mampu membayar mahal pemain walaupun tayangan yang dihasilkan jauh dari harapan. Begitu banyak kasus pengaturan skor terjadi dan kita rakyat masih menonton. Entah karena faktor primordialisme, fanatisme, atau bahkan keberhasilan kompetisi mengikat emosi penontonnya memalui drama-drama palsunya.

 Harusnya sikap-sikap fans dapat menyeimbangkan neraca budget sepakbola terhadap output. Sebut saja sistem rating, keviralan, fyp, engagement, dll. Begitulah mekanisme hiburan bukan? Boikot saja stadion untuk tim-tim sepakbola yang kepengurusannya bobrok. Mencintai klub tidak harus selalu mendukung setiap waktu. Menarik diri dari euphoria dan fanatisme berlebih dari sebuah tayangan sepakbola, menghidupi diri dengan kegiatan produktif, dan kembali ke lapangan memainkan sepakbola dari kaki-kaki sendiri mungkin dapat membantu menyalurkan energi berlebih mendukung klub sepakbola. Atau memberi otak wawasan yang lebih mendunia mengenai sepakbola, menonton kompetisi yang lebih dekat, sepakbola tarkam misalnya, juga dapat membantu mengurangi fanatisme terhadap klub-klub sepakbola yang dikuasai elite-elite itu.

Rasanya mustahil mengubah sepakbola lewat kepengurusannya, harapan satu-satunya adalah Anda sebagai entitas fans sepak bola. Anda mau merubahnya dengan cara mengurangi engagement dengannya, atau memang menerima apa adanya liga yang ada dan berhenti berharap apa-apa. Indonesia adalah Negara demokratis, dan rasanya apa-apa yang kita tuai belakangan juga atas hasil sikap kita belakangan karena terlalu terbuai dengan kualitas pengelolaannya yang apa adanya.

 Sudah saatnya kita mendewasa sebagai fans, membangun lingkungan sepak bola yang lebih mapan, menjauhi anarkis, dan kontrol yang tepat.

Jakarta, 13 Feb 2022

Tinggalkan komentar