Lamaranku


Hargo Dumilah masih bisu,
ketika angin lembah menyapu wajah dengan bekunya.
Sang saka berkelebat gagah tertinggi di singgasananya.

Kabut putih mengisi ruang di lembah yang gelap.
Sekelompok manusia tampak kepagian,
menggigil penuh haru dalam pencapaiannya hari ini.

Hargo Dumilah adalah puncak yang membelah Mataram-Singosari.
Memisahkan kerajaanku kerajaanmu.

Perlahan kekuningan sinar terbit,
menandai tegas cakrawala timurku.
Memberikan harapan akan kemunculanmu.

Bayang hitam menyembul memotong sinar kuning itu.
Arjuno, Bromo dan Semeru tampak di sisi timurku di sampingmu.
Kemilau cahaya emasi, datanglah wujud sang dewi matahari.

Aku membawa saksi, Merbabu, Merapi, Sumbing dan Sindoro.
Ingin melamarmu di medan Lawu ini.
Medan yang menyiksa kita dalam perbedan jawa ketimuran dan ketengahan.
Mataraman dan Singosaren.

Dipayung langit biru,
disaksikan Dewi Matahari dan pihak-pihak gunung,
di medan Hargo Dumilah ini,
aku ingin kita bersatu.
Tinggalkanlah rajamu karena kita akan membangun kerajaan baru!

 

Hargo Dumilah, Pucak Lawu
17 Februari 2012

Pendakian : Gunung Lawu


Kereta Kutojaya Selatan seperti biasa mengantarkan saya menuju Kutoarjo. Alih-alih target sampai di Kutoarjo tepat waktu yakni jam 05.15 karena Prameks jadwal paling paginya jam 06.34, ternyata sudah beberapa bulan ini tidak ada. Jadi, percuma saja walau kereta nyatanya tepat waktu datang, saya harus menunggu 3 jam sampai jam 08.15 buat prameks. Beruntung sambil menunggu ketemu temen SD-SMP, Bangun yang sekarang kuliah di UNS. Sampai Solo saya ngobrol dengan dia.

Di Solo saya ketemu rombongan juniornya Deka (penggagas pendakian Lawu) di terminal Tirtonadi. Setelah ngobrol jelas dengan junior-juniornya Deka, ternyata Deka sendiri bakal terlambat datang karena dia masih tertahan di Sindoro. Misi 3S (Slamet-Sumbing-Sindoro) nya mengalami kendala. Akhirnya saya berangkat bersama 5 orang juniornya Deka di MAPALA AMG (Akademi Meteorologi dan Geofisika) : April, Fadiah, Mahdi, Herlan dan Cahya atau baisa dipangil Cay.

Setelah makan siang, tanpa basa-basi, kita berenam naik bus menuju Tawangmangu. Jam 2 siang tepatnya. Biayanya 10 ribu saja perorang. Dengan harga segitu, ya terimalah fasilitas bus ekonomi alakadarnya. Baru keluar kota Solo ternyata penuh dan rombongan anak SMA membuat bus penuh manusia berdesak-desakan. Untung saya dan rombongan sudah mendapat tempat sedari di Tirtonadi.

Sesampainya di Tawangmangu kita istirahat buat nyari logistik, tepatnya jam 4 sore. Setelah beres dan siap semua, kita naik kendaraan omprengan L300 untuk naik ke Cemoro Sewu. Kami memilih jalur Cemoro Sewu karena relatif cepat, walau memang tanjakannya lebih ekstrim. Sebagai gambaran awal, lewat Cemoro Sewu kita akan ketemu 5 pos, masing-masing berupa gasebo. Setelah pos terakhir ada Sindang Drajat, dimana kebanyakan orang camp di situ. Ada satu lagi campsite yakni Mbok Yem, namun lokasinya lebih dekat ke Puncak lain yakni Hargo Slamet. Sedangkan puncak tertinggi yang ikin kita capai adalah Hargo Dumilah.

Kita memulai pendakian sekitar jam setengah enam sore.

Foto Bareng Sebelum Pendakian

Foto Bareng Sebelum Pendakian

Pendakian yang kami lakukan termasuk pendakian santai. Rata-rata 5-6 jam untuk sampai pos 5 kita habiskan 6 jam. Pemandangan sampai pos 4 tidak ada yang menarik, ya karena kita pendakian malam. Namun setelah lewat Pos 4, pemandangan bagus datang dari bawah. Lampu-lampu perkotaan dan pedesaan nampak sangat eksotis. Karena dari ketinggian lebih dari 2800 mdpl, jauh terlihat bagus sekali berkelap-kelip lampu di bawah. Waktu di Gede Pangrango tidak sebagus ini pemandangan malam lampu-lampu dibawahnya. Tentu karena vegetasi di atas tidak dipenuhi oleh pohon-pohon rindang seperti di Gede-Pangrango.

Akhirnya sampai juga di Sindang Drajat. Kami camp di situ. Karena keterlambatan Deka, akhirnya kami harus berela-diri satu tenda ber-6. Mahdi bahkan tidur di teras tenda. Satu hal yang sangat disesalkan di Sindang Drajat ini, sinyal telepon menghilang, apapun operatornya. Padahal kami sedang butuh komunikasi dengan Deka dan temannya biar bisa ada kejelasan apakah kita akan tunggu di camp, apa kita duluan saja pulang.

Kami pikir, puncak Hargo Dumilah itu masih jauh dari camp sindang darajat ini. Akhirnya kami putuskan untuk bangun jam 4. Kasian beberapa anak sleeping bagnya basah, sehingga ada yang tidur ada yang tidak. Ada yang tidur kedinginan, ada yang tidur hangat karena sleepingbagnya kering.

Jam 4 pagi. Saya paling pertama bangun. Dingin menusuk, wajah bagai tersayat-sayat. Maklum memang, perkiraan saya, ini sudah ketinggian 3000. Yang lain masih sibuk dengan tidurnya yang nyaman. Hanya saya dan Mahdi yang letak tidurnya paling luar yang keluar duluan. Kalau saya sendiri, orang yang sudah tidak sabar buat berjumpa dengan Hargo Dumilah, puncak gunung api ketiga setelah Gede dan Bromo.

Dengan pakaian rapat, hanya wajah yang terbuka akhirnya rombongan siap untuk Summit! Jam menunjukkan 04.15, beberapa tenda masih sepi. Hanya ada satu rombongan yang sudah duluan meninggalkan Sindang Drajat.

Hanya setengah jam perjalanan, selebihnya suara kibaran bendera sudah terdengar. Dingin yang sedari tadi merasuk berubah jadi panas kobaran semangat. Itulah kibaran bendera merah putih tugu Hargo Dumilah. Akhirnya diri ini sampai juga di puncak Lawu. Sorakan menggema untuk Herlan, akhirnya dia mencapai puncak pertamanya. April juga, walaupun sudah pernah ke Lawu sebelumnya, baru kali ini dia sampai puncak. Dulu hanya sampai tengah dan sakit.

Tugu Puncak Hargo Dumilah

Tugu Puncak Hargo Dumilah

Puncak yang kepagian. Sesampainya di Puncak, angin yang kencang sangat menyiksa. Walau matahari belum menyingsing, langit membiru terhampar di atas kita. Gumpalan awan-awan tampak memberi batas langit dan bumi disekelilingnya. Kami iri dengan rombongan yang lain, dikala kepagian mereka membawa logistik kompor dan sebagainya. Di tengah dingin dan angin lembah yang menerpa, ada kopi dan susu jahe di rombongan mereka. Sedangkan kami tak berbekal apapun.

Saya memutuskan untuk turun kembali, berlindung dibawah pohon dari terpaan angin. 15 menit berlalu, saya dibangunkan Herlan, namapaknya saya tertidur. Haha. Akhirnya, cahaya kemuning muncul dari ufuknya. Awan-awan tersorot jadi keemasan. Sunrise akan datang sebentar lagi. Nikmatilah.

Ketika Cakrawala Timur Mulai Menguning

Ketika Cakrawala Timur Mulai Menguning

Matahari Yang Menyilaukan Tapi Hangat

Matahari Yang Menyilaukan Tapi Hangat

 

Pemandangan tidak hanya Sunrise, rupanya dari Lawu ini lamat-lamat akan tampak Gunung Arjuno, Semeru, dan mungkin Bromo. Sedangkan di sisi barat, akan bertemu dengan Merapi, Sumbing, Merbabu, dan mungkin juga Sindoro. Bagai medan perang, kita ada ditengah-tengah dua kerajaan besar. Mataram dalam harmoni Sumbing, Merbabu, Sindoro dan Merapi. Sedangkan Singosari yang hidup dalam pangkuan Bromo, Semeru dan Arjuno. Lawu yang juga gunung yang membatasi Jawa Tengah dan Jawa Timur, sungguh bagai di medan perang.

Foto Bersama di Puncak Menghadap Sunrise

Foto Bersama di Puncak Menghadap Sunrise

Awan-awan juga menarik untuk di saksikan. Bermacam-macam, Glory Morning, cumulus humilis, hingga Cumulonimbus yang jauh di sebelah selatan sana.

Habis, siang menjelang. Kabut semakin banyak meyelimuti dan dingin. Jam 7 pagi kami turun. Di tenda kami menyiapkan sarapan. Apa boleh buat, karena logistik yang kami bawa hanya makanan instant macam kentang instant, roti polos, sosis, dan sup instant, akhirnya kami membuat makanan campur aduk. Saya membuat roti isi kentang rebus yang diaduk dengan sosis dan susu kental manis. Entahlah, tapi habis.

Teringat sebuah kutipan percakapan dari Fadiah, “Di gunung, hanya ada dua rasa makanan : enak dan enak banget.” Dia nilai sarapan kita dengan ‘enak’. Yap, sangat bijaksana.

Pada kesempatan lain, saya coba hubungi Deka. Namun nyatanya sinyal tak kunjung muncul. Akhirnya saya coba jalan agak jauh, namun tak muncul juga sinyal itu. Ironisnya, ketika kembali ke Sindang Drajat sinyal itu mucul. Dari tadi malam, kemana sajakah kalian wahai sinyal? Walau cuma sebentar, cukup untuk membalas SMS Deka. Sayangnya ketika ditelpon, HP Deka sendiri sedang di luar jangkauan.

Karena menjelang siang, kabut semakin tebal aku tawarkan untuk turun duluan. Semua menyepakati. Namun perdebatan muncul apakah kita akan pulang lewat Cemoro Sewu atau Cemoro Kandang? Tujuannya jelas, supaya bertemu dengan Deka. Setelah bertanya tentang medan yang akan kita tempuh, ternyata jalur Cemoro Kandang cukup jauh yakni 13 km dari titik sekarang kita beridiri. Akhirnya kita putuskan lewat Cemoro Sewu. Perihal ketemu Deka, kita berjudi, lagipula Deka sendiri tidak bisa dihubungi.

Jalanan pulang terasa cepat. Tau-tau pos 4 sudah sampai dalam 1 jam. Maklum turun tanpa istirahat. Jalanan sampai di Pos 2 berupa bebatuan. Baru tahu ketika jalan pulang, trek yang kita lalui begitu ekstrim tinggi. Apalagi dari pos 3-4 lebih dari 75 derajat. Batu-batu vulkanik akibat letusan menutupi seluruh muka gunung. Hanya tanaman khas yang tumbuh.

Saya, Cay dan Fadiah sampai duluan di Cemoro Sewu, sedangkan Harlan nampak kesusahan karena kakinya yang cidera. Dia paling belakang. Sambil menunggu Harlan beberapa mandi di Cemoro Sewu, luar biasa dinginnya, bagai mandi air es. Air di ketinggian 1800 ini segar.