Marina 2, Ferry penyebrangan Gilimanuk – Ketapang berhenti di tengah laut. Mengantri masuk Pelabuhan Ketapang yang ramai. Angin laut menerpa raga yang sedang menikmati alunan lagu-lagu dari player musik handphone sendirian. Lampu warna-warni hiasi pemandangan tengah malam Selat Bali. Tidak ada yang dipikirkan, hanya terfokus pada suasana. Sekeliling tidak ada yang aku kenal dan aku juga tak peduli.
Jam dua dini hari Marina 2 merapat. Ini masih terlalu dini untuk hari minggu. Aku harus menunggu pagi demi meulai perjalanan yang lebih panjang dari ini. Banyuwangi – Yogyakarta. Di Pulau Jawa ini hanya satu yang pertamakali aku tuju : Masjid. Tempat paling aman dan nyaman.
Di halaman yang sudah mulai ramai ituaku mencoba bersandar. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang akan menyebrang ke Bali. Selanjutnya sholat Isya berjamaah bersama sebagian mereka.
Selepas Isya’ orang-orang itu beranjak, menuju dermaga untuk menyebrang menuju Bali. Terpaan angin rasanya tinggal dinikmati saja. Di hadapan mata silih berganti bus-bus dan kendaraan lain berhenti, menurunkan orang-orang, mengantri masuk Ferry. Sampai masjid ini juga sepi, aku kini merasa sendiri. Sendiri dalam arti segalanya. Sendiri dari teman-teman yang mengajak bicara, sendiri dalam makna apapaun. Tapi yang penting aku aman di sini.
Sekian banyak Bus yang mengantri mengingatkanku pada waktu kelas XI SMA dulu. Aku pernah menjadi mereka(naik bus dan turun di pelabuhan lalu naik kapal ferry). Dan mungkin waktu itu aku merasakan hal yang sama yakni merasakan yang pertamakalinya menginjakkan kaki di pulau selain Pulau Jawa.
Sampai adzan Subuh berkumandang aku hany melamun, sesekali membuka-tutup HP. Tengok kanan, kiri, depan dan belakang mencari seseorang yang pastinya tidak ada. Sepi ditengah hiruk pikik bus-bus dan rombongan manusia-manusia pelabuhan.
Di sini kumandang adzan terlalu dini dibanding Jogja atau Bandung. Di sini jam 4 adzan sudah berkumandang. Sehabis sholat subuh tak lupa berdoa untuk keselamatan perjalanan pagi nanti. Sampai Jogja, sampai Purworejo, rumah yang membesarkan badan. Tidak aneh jam 5 matahari sudah nampak, jam setengah enam sudah terang dan aku beranjak menuju stasiun. Mengantri tiket yang ternyata belum dibuka.
Berjalan sendiri dari pelabuhan ke stasiun rasanya hampa sekali. Orang hilang yang tasnya penuh, membawa seplastik kemasan yang buluk karena tersenggol orang-orang, rasanya pengait tas juga makin tipis mau putus. Sebentar lagi bro, kita tinggal duduk menikmati hutan-hutan Jawa Timur, Kota-kota Jawa Timur yang panas hingga adem ayem kota Yogyakarta sampai kasur empuk di rumah Purworejo.
Sampai stasiun kubuka bekal dari tantenya Kindi, sarapan yang bikin enek : nasi padang, padahal jam juga belum 6. Manusia-manusia dengan aneka keperluan, dari yang hendak ke Jember sampai sepertiku yang hendak ke Yogyakarta ada. Mereka semua penuh dengan barang bawaannya, pedagang-pedagang, perantau dan lainnya.
Kutunggui Sritanjung dengan terkantuk-kantuk.