Perjalanan Mencapai Kampus Ganesha

Pagi itu aku sudah dalam minibus menuju Kutoarjo. Bus itu akan menghantarkanku ke terminal kutoarjo yang kecil untuk turun dan melanjutkan dengan jalan kaki menuju stasiun Kutoarjo yang lebih besar. Stasiun kutoarjo adalah satu-satunya ikon yang lumayan bisa diandalkan untuk menunjukkan dimana letak sebenarnya Purworejo. Stasiun kutoarjo lumayan terkenal tiap musim libur panjang atau lebaran tiba. Orang perantauan di jakarta dan bandung terutama selalu berbondong-bondong untuk pulang ke kampong mereka masing-masing di jawa tengah bagian selatan seperti Kebumen, Purworejo, Purwokerto, Magelang, atau Wonosobo lebih memilih naik kereta jurusan akhir Kutoarjo. Entah sawunggalih ekonomi atau sawunggalih ekspress pasti bejubel. Setidaknya orang-orang Magelang dan Wonosobo akan lebih suka naik kereta yang murah itu dan turun di stasiun terakhir bersama perantauan asli purworejo itu sendiri.

Waktu itu bukanlah musim lebaran atau libur panjang, tak ada keramaian berarti distasiun. Hanya aktivitas normal orang keluar masuk stasiun tanpa berjejal. Antrian tiketpun hanya sekitar 5-8orang silih berganti. Aku masih menunggu teman-temanku yang lain. Teman-teman seperjuangan meraih tempat masa depan selepas sekolah menengah atas. Tak lain tak bukan tujuan kami adalah kampus dengan nama maha besar ITB. USM Terpusat akan dilaksanakan 10hari lagi, teman-teman dan aku akan pergi ke bandung untuk melaksanakan validasi peserta USM Terpusat. Jam 09.30 tepat kereta berangkat, ada rombongan anak-anak SMA sekitar 15an dalam gerbong lima ini. Tak tau orang lain tapi kalau ke15orang itu adalah anak-anak SMA yang akan bertarung memperebutkan sebuah tempat di kampus jalan ganesha 10 bandung itu. Oh iya, kereta yang kami naiki adalah kereta ekonomi Sawunggalih Selatan dengan kondisi penuh normal. Tak ada orang berdiri kecuali para penjual mizone, aqua, pecel, gorengan, pengamen, pengemis, tukang semprot parfum, penjual mainan anak dan sebangsanya yang silih berganti menjajakan dagangannya.

Aku duduk tidak disamping jendela, sampingku si Gunadi. Kami duduk menghadap ke belakang. Kereta bergerak mundur menurut sudut pandangku. Di depanku dua teman satu SMA, perempuan, memakai jilbab, suasana awal beku, sampai akhirnya Gunadi yang memang tidak kaku bisa memulai perbincangan sehingga selama perjalanan tak menjemukan. Suasana panas menjelang siang memang tak ter elakkan. Tertulis dalam satu lembar tiket angka Rp. 19.500,- rasanya tak memalukan pihak PT KAI dengan apa yang kami terima. Kami terima-terima saja, semua mawas diri atas apa yang mereka pesan, bayar, dan dapatkan dari sebuah jasa milik bangsa ini.

Ah,siang itu sungguh panas, belum juga sampai tasik udah segitu panasnya. Katanya biasanya sampai di tasik sekitar jam 2 siang, dan menurut pengamatanku jam 2 merupakan puncak panasnya udara di Negara tropis Indonesia ini. Ini masih sampai Banjar sudah seperti neraka, apalagi saat itu ada segerombolan bencong dengan penuh pesona nakalnya bersenandung wakuncar. Meminta duit dengan memaksa, jika tidak akan di tunggu sampai ngasih atau jika tidak untuk lelaki akan di kasih ciuman maut. Ah gila, baru aku lihat yang seperti ini.

Yang panas dan bencong-bencong itu telah berlalu. Kini kereta api sudah masuk daerah tasik, sebentar lagi akan memasuki kawasan pegunungan yang berkelok-kelok sepanjang provinsi Jawa Barat. Sebelumnya aku paksa untuk pejamkan mata sebentar, namun pengalaman baru ini membuatku tak pernah bisa memaksa mata untuk terpejam. Setiap sudut jendela membingkaikan pemandangan baru buatku, tak pernah kurasakan bosan utuk sekedar melamun memandang keluar. Meski pemandangan hanyalah hutan-hutan melulu, hanya kadang-kadang kala melewati sungai yang lumayan lebar seperti Serayu mataku langsung berkonsentrasi menatap keluar.

Barisan pegunungan itu muncul menghilang dari pandanganku karena sekarang kereta berjalan mengelilingi gunung-gunung yang mengurung sebuah kota tujuan akhir bernama bandung. Dalam bayanganku dulu trek sebuah kereta api itu hanya lurus, namun ternyata tidak demikian, kereta benar seperti ular yang bisa berbelok juga. Dari luarpun ada pemandangan aneh dan baru buatku ketika kutemukan rumah-rumah di atas gunung, bahkan yang paling menarik adalah lapangan sepak bola dekat rel kereta api diatas ketinggian yang tidak pada umumnya.

Langit mendung, hujan turun seketika saja, suasana panas yang tadinya dirasakan sekarang berganti kesejukan. Bau-bau tanah kering terkena air masih terasa tidak enak, hijau daun pepohonan terkena air bisa mengganti ketidak enakan bau tanah itu. Kereta masih meliuk-liuk di rel yang mengelilingi gununggunung yang tiada habisnya itu. Sampai di      hujan mulai reda, anak-anak kecil berlarian dari luar meminta dikasih apapun terutama makanan dan uang receh. Setelah lama ber-ramah tamah dengan anak2 kecil, kereta kembali meluncur. Kurang lebih tinggal 1jam lagi.

Benar sekali, 1jam kemudian kereta sampai Bandung. Inilah kota terindah di Indonesia menurut yang aku tahu, Paris van Java. Di sepanjang sisi lintasan kereta ternyata masih ada banyak rumah-rumah kardus atau kurang layak.

Si ular besi ini mulai menurunkan kecepatannya. Aku tau kalau sekarang sudah sampai Kiara Condong dari kata-kata orang yang rebut di belakangku. Mereka sudah mulai bersiap-siap dengan barang bawaan yang berat-berat untuk duluan turun. Aku dan teman-temanku memilih untuk terakhiran saja, mengingat penumpang padat. Sampai kerata berhenti mataku masih menebarkan pandang keluar jendela. “Beginikah tempat bakal aku hidup selama 4tahun kedepan?”, dalam hatiku mengucap. “Inikah kota yang akan mendidikku menjadi seorang Insinyur?”. Tapi aku barusan saja sadar, teman-teman sudah mulai beranjak dari kursi mereka. Koper dan tas-tas penuh baju mereka tarik dari atas mereka. Sedangkan aku hanya ada sebuah tas ransel kecil yang sesak dengan baju-baju dan berkas-berkas pendaftaran, tidak ada oleh-oleh untuk kerabat karena memang aku di sini tak punya saudara.

Berlima belas kami keluar dari kereta. Ada beberapa teman kami yang sudah dijemput saudaranya yang di bandung. Sedangkan ada 5 anak tanpa jemputan akan melakukan perjalanan naik angkot menyusuri kota-kota bandung untuk mencari alamat salahsatu saudara teman kami. Oh iya, kami berlima adalah Wahyu, Gunadi, Komagi, Dendeng, dan Aku. Kami akan pergi ke rumah saudara Wahyu di daerah Sukamiskin. Kami naik Caheum-Ciwastra arah Caheum untuk ke Terminal Cicaheum kemudian dilanjutkan dengan Caheum-Cibiru. Kami berhenti di depan penjara sukamiskin untuk kemudian melajutkan perjalanan kaki sejauh kurang lebih 200meter.

Tak kusangka lumayan bagus juga rumah pamannya wahyu ini. Sebelumnya waktu dalam perjalanan kami mengira ada beberapa rumah biasa-biasa saja yang kami kira itulah rumah pamannya wahyu dan ternyata bukan. Rumah tingkat bercat warna merah kremL.

Sehabis itu, inilah aku pertama mandi di bandung. Walaupun kami datang dengan penuh peluh keringat bau dan hawa yang panas tetap saja air dibandung terasa begitu dingin. Ah, dingin sekali bandung. Dan kenyataan memang menunjukkan bandung ada di cekungan, dikelilingi berbagai gunung dan dearah ketinggian scara ilmu bumiku di SMP tentang hokum Buys Ballot dimana setiap kenaikkan ketinggian sebesar 100meter maka temperature turun 1 derajat celcius.

Ah, tibalah waktu untuk validasi data-data pendaftaran. Lokasi ada di gedung rector ITB atau sering kita sebut Annex. Areanya tidak begitu luas, namun sangat penuh dengan nuansa sacral. Ini jalan yang sangat dibenci oleh mahasiswa, inilah tempat yang paling tidak suka dikunjungi oleh mahasiswa.. Bagi mahasiswa pergi kke gedung annex berarti trouble ada pada mereka.

Kami berlima berangkat dari sukamiskin lumayan pagi, jam setengah enam pagi, tapi macetnya hari senin tak bisa dielakkan. Kami sampai di Annex pukul 7 pagi. Dan ternyata antrian sudanh panjang megular. Beda denganku yang sedang mengantri penyerahan berkas, temenku berempat sudah melakukan validasi. Ini karena pendaftaran kita berbeda. Aku lumayan lebih cepat menyelesaikan urusan ini, namun teman-teman masih mengantri panjang.

USM masih seminggu lagi, semuanya bubar.

USM itu tinggal besok pagi. Aku dan Wahyu sudah siap berangkat ke lokasi yang lebih dekat dengan ITB, yaitu Taman Hewan. Waktu USM itu sungguh jalanan pasti bisa ditebak macetnya tiada terkira sekitar Dago dan Tamansari. Sehabis maghrib paman wahyu mengantakan kami sampai taman hewan menggunakan mobilnya. Pamit dan akhirnya kami bergabung denga teman-teman lain di Taman Hewan. Aku sendiri sebenarnya bukanlah seseorang yang terlalu berharap di ITB ini, karena aku dulu masih ragu apakah bisa aku bertahan hidup di kota penuh godaan ini? Paris van Java, kota mode, biaya hidup yang tidak seperti di Jogja, Solo atau Purworejo.

Namun aku sekarang pasrah, aku akan berusaha sekeras mungkin, aku tak akan dengan mudah pulang dengan tanpa perlawanan, aku akan pulang karena aku telah habis-habisan, layaknya seorang petarung aku akan pulang setelah wasit telah membunyikan peluit tanda berakhirnya pertandingan. Kupanjatkan do’a untuk semua kelancaran, dan kebaikan semuanya.

Aku bangun pagi jam empat lebih sedikit, itupun karena dibangunkan oleh 3bunyi alarm yang berbeda. Yaitu punya Wahyu, punyaku, dan punya Dendeng. Kami bertiga menempati sebuah kamar milik kakak angkatan diatas kami dari satu daerah, sedangkan yang lain menempati ruangan lain. Sebenarnya masih ngantuk ini mata karena tadi malam tidur jam 12. Tetapi karena memang kita dituntut untuk ngantri mandi, Cuma ada beberapa kamar mandi dengan manusianya begitu banyak. Wah betapa tidak dingin kawan, jam lima kurang kita disuruh mandi ditempat yang terkenal dingin, ditempat yang baru, ditempat yang

5 thoughts on “Perjalanan Mencapai Kampus Ganesha

  1. khozin berkata:

    okelah untuk sebuah permulaan ,
    > good luck,

  2. penulisjalanan berkata:

    hehehe.. makasih mas..

  3. Vicky Achmad berkata:

    Mas Kalo Nulis Blog GIni tuh di catet d buku tulis dulu apa langsung D ketik yaaaaa ??? sbelumnya makasih mas ^_^

Tinggalkan komentar